KBR, Jakarta - Lima jurnalis Tempo meraih penghargaan jurnalistik Oktovinus Pogau dari Yayasan Pantau karena dianggap menampilkan keberanian dalam membongkar berbagai manuver di Istana Merdeka.
Lima jurnalis itu menghadirkan liputannya melalui siniar (podcast) Bocor Alus di kanal YouTube dan Sportify.
Yayasan Pantau menilai lima jurnalis Tempo yaitu Egi Adyatama, Francisca Christy Rosana, Hussein Abri Donggoran, Raymundus Rikang, dan Stefanus Pramono, sebagai wartawan media cetak, berani masuk ke media siaran guna menerangkan berbagai manuver hukum dan politik dari Istana Merdeka.
Siniar 'Bocor Alus' tampil setiap minggu, meliput dengan kritis berbagai usaha Presiden Joko Widodo konsolidasi kekuasaan.
Yayasan Pantau menilai liputan soal Presiden Jokowi bukan pekerjaan mudah karena Jokowi bergerak tertutup, lewat komunikasi pribadi maupun perantaraan orang kepercayaan dan keluarganya. Meski begitu, Jokowi canggih dalam relasi publik dan mampu membentuk citra dirinya.
Menghadirkan liputan soal Presiden Jokowi, menurut Yayasan Pantau, bukan pekerjaan mudah karena Jokowi bergerak tertutup, lewat komunikasi pribadi maupun perantaraan orang kepercayaan dan keluarganya, namun canggih dalam public relations. Jokowi mampu membentuk citra dirinya.
“Dari liputan wartawan di lapangan, dorang buang suara dalam Bocor Alus,” kata Yuliana Lantipo dari Yayasan Pantau.
Baca juga:
- Ini Penyebab Pemred KBR Diganjar Penghargaan Oktovianus Pogau 2018
- Liput Kekerasan Seksual, Jurnalis Pers Kampus Raih Penghargaan Oktovianus Pogau 2019
Bocor Alus merupakan siniar (podcast) yang digarap Majalah Tempo lewat kanal YouTube maupun Spotify. Siniar ini terbit setiap hari Sabtu, guna menyebarkan informasi kepada masyarakat. Pada 2023, Bocor Alus dapat penghargaan dari YouTube sebagai kanal paling laju pertumbuhannya, serta kanal paling populer di Spotify Indonesia.
Yayasan Pantau menyebut Bocor Alus mencoba menerangkan sesuatu yang masih berlangsung. Upaya ini bukan pekerjaan mudah karena perlu waktu lama guna menilai berbagai manuver Jokowi. Sedangkan waktu adalah barang mewah dalam jurnalisme.
Bocor Alus banyak menyorot Presiden Jokowi lakukan berbagai manuver guna mencapai berbagai ambisinya, termasuk bangun ibukota Nusantara di Pulau Kalimantan.
Selain itu, Bocor Alus juga membicarakan Jokowi yang diduga melemahkan Komisi Pemberantasan Korupsi, mendorong pembuatan omnibus law yang langgar hak buruh, lakukan hilirisasi tambang tanpa perlindungan lingkungan hidup serta masyarakat adat, meresmikan Kitab Undang-undang Hukum Pidana dengan puluhan pasal yang melanggar standar hak asasi internasional, membuat revisi aturan pemilihan umum dimana gubernur, walikota, dan bupati langsung selesai masa jabatan, sesuai waktu, dan penjabat diangkat Presiden Jokowi tanpa pemilihan.
Sorotan lain adalah ketika Presiden Jokowi membuat aturan dimana pejabat militer dan polisi bisa dijadikan sebagai pejabat sipil –praktik yang sama dengan pemerintahan Presiden Soeharto dalam apa yang disebut “Dwifungsi ABRI.”
Langkah Presiden Jokowi yang paling kontroversial, dalam sorotan Bocor Alus, adalah membuat anaknya, Gibran Rakabuming Raka, jadi calon wakil presiden. Jokowi beri kontribusi besar dalam menciptakan situasi tersebut, diduga lewat iparnya, Anwar Usman, selaku ketua Mahkamah Konstitusi, membengkokkan persyaratan calon presiden dan wakil presiden agar Gibran, yang baru umur 36 tahun, bisa mengatasi syarat usia minimal 40 tahun.
Berbagai manuver Jokowi itu dinilai sebagai “pengkhianatan reformasi 1998” yang membawa misi melawan KKN (korupsi, kolusi dan nepotisme). Nepotisme dalam politik Indonesia sebenarnya barang umum di Indonesia. Hanya saja, politisi lain, termasuk bekas Presiden Megawati Soekarnoputri dan Susilo Bambang Yudhoyono, tidak mengguncangkan stabilitas negara lewat tindakan yang menimbulkan keraguan terhadap legitimasi lembaga-lembaga demokrasi, menurut pengamat politik Bill Liddle dari Ohio State University.
Bocor Alus juga bahas peranan Iriana, isteri Presiden Jokowi, dalam membuat Gibran, bisa jadi calon wakil presiden, bersama dengan Anwar Usman.
Meski begitu, Bocor Alus dan Tempo juga mendapat kritik ketika mengedepankan Iriana, seakan-akan Iriana bergerak sendiri, sebagai tindakan yang meyudutkan perempuan.
“Kritik harus diperhatikan dan Tempo perlu bikin evaluasi agar tak ada lagi liputan yang merendahkan perempuan,” kata Yuliana Lantipo.
Tempo berdiri di Jakarta pada 1971 oleh beberapa wartawan muda termasuk Goenawan Mohamad sebagai pemimpin redaksi. Goenawan ikut mendirikan Aliansi Jurnalis Independen serta Institut Studi Arus Informasi pada 1994 dan 1995. Goenawan ikut bangun kembali Tempo, ketika terbit lagi pada 1998, sesudah Presiden Soeharto mundur.
Independensi dari sumber, maupun kekuasaan politik, militer, ekonomi, agama, dan lainnya, adalah elemen jurnalisme. Tempo, juga Bocor Alus, punya tradisi buat selalu mempertanyakan independensi mereka.
“Verifikasi adalah esensi dari jurnalisme. Verifikasi itu perlu agar kitorang berpikir, agar kitorang kasih turun lewat komputer jadi tulisan. Tulisan di layar komputer bisa dibaca ulang, disunting dan dibuat sebetul-betulnya. Bocor Alus adalah omon-omon dengan dasar verifikasi,” kata Lantipo.
Baca juga:
- Gugat Rektor Demi Bela Kebebasan Pers, Dua Mahasiswi USU Raih Penghargaan Pogau 2020
- Ungkap Kasus Hukum Mandeg, Jurnalis Asal Maros Raih Penghargaan Pogau 2022
Kelima wartawan pemenang Penghargaan Oktovianus Pogau itu sudah bekerja buat Tempo setidaknya delapan tahun.
Egi Adyatama, kelahiran Garut tahun 1992, lulusan dari Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto, bergabung dengan Tempo pada 2015. Francisca Christy Rosana, kelahiran Yogyakarta tahun 1992, lulusan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, bergabung dengan Tempo pada 2014.
Hussein Abri Dongoran, kelahiran Jakarta tahun 1991, lulusan Universitas Pasundan, Bandung, bergabung dengan Tempo pada 2014. Raymundus Rikang, kelahiran Bandung, tahun 1991, lulusan Universitas Atma Jaya, Yogyakarta, bergabung dengan Tempo pada 2014.
Stefanus Pramono, kelahiran Jakarta tahun 1981, lulusan Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Jakarta, bergabung dengan Tempo pada 2005 atau sudah selama 18 tahun.
Penghargaan Oktovianus Pogau dari Yayasan Pantau menggunakan nama seorang wartawan Papua. Oktovianus Pogau, lahir 1992 meninggal di usia 23 tahun pada 2016.
Pada Oktober 2011, Pogau melaporkan kekerasan terhadap ratusan orang asli Papua ketika berlangsung Kongres Papua III di Jayapura. Dia merekam suara tembakan. Tiga orang Papua meninggal dan lima orang dipenjara dengan vonis makar. Kegelisahan karena tak banyak media Indonesia memberitakan pelanggaran tersebut mendorong Pogau bikin Suara Papua pada 10 Desember 2011.
Juri Penghargaan Pogau terdiri dari Andreas Harsono (Jakarta), Alexander Mering (Pontianak, Bogor), Coen Husain Pontoh (New York, Bolaang Mongondow), Made Ali (Pekanbaru), dan Yuliana Lantipo (Jayapura).
Editor: Rony Sitanggang