KBR, Jakarta - Tahun baru, banyak yang menginginkan harapan baru. Namun tidak demikin dengan harapan satwa yang terancam punah.
Menurut Kuasa hukum Profauna Irma Hermawati, modus perdagangan satwa liar sepanjang 2014 lebih marak, karena memanfaatkan perkembangan teknologi. Banyak pelaku perburuan atau perdagangan satwa melakukan penjualan ecommerce melalui jejaring sosial seperti Facebook atau BBM.
"Trend dari modus penjualan ini semakin marak. Di tahun-tahun sebelumnya, mereka melakukan secara konvensional, misalnya dengan memajangnya di pasar burung, di pinggir jalan atau di mall. Tapi, sekarang, modusnya berubah. Dengan pembelian lewat internet, akan lebih mudah transaksinya. Jika ada orang tertarik, tinggal ditransfer uangnya dan barang dikirim melalui bis-bis antar provinsi. Karena hal ini, jadi ada kesulitan dalam upaya penegakan hukum terhadap pelaku perdagangan satwa," papar Irma
Ya, teknologi makin mempermudah pelaku penjualan satwa. Irma mengaku, ada 192 pengaduan dari masyarakat terkait penjualan satwa yang diuggah ke media sosial. Satwa-satwa yang sering dijual, seperti jenis elang, primata, atau bagian-bagian satwa lain seperti gading gajah, kulit harimau, sisik tringgiling.
Situs yang pernah ditemukan Profauna menjual satwa yang dilindungi adalah Toko Bagus (sekarang OLX), Ceriwis dan Indonet. Beruntung, ketika pihak Profauna mengkonfirmasi ke Toko Bagus terkait hal tersebut, responnya bagus.
Malah sekarang, kata Irma, jika ada iklan satwa, pihak Toko Bagus langsung mengkoordinasikannya kepada profauna. Tak hanya toko bagus, banyak juga ecommerce lain yang menjadi moderator untuk membantu tugas para lembaga pelindung hewan.
"Gak mungkin kami door to door ke beberapa situs. Untuk hal ini, kami sangat menghargai niat baik dari para ecommerce. Ini baru yang ketahuan lho, yang tidak terlapor pasti angkanya lebih tinggi. Sayangnya, ini tidak ditindaklanjuti oleh penegak hukum, mungkin karena satwa bukan isu yang seksi, jadi belum menjadi skala prioritas," keluh Irma.
Selain penjualan, ada juga bentuk eksploitasi satwa lain, seperti sirkus atau lembaga ilegal yang melakukan dugaan keterlibatan dengan lembaga konservasi atau penangkaran dalam perdagangan satwa liar.
Menurut Irma, maraknya komunitas satwa seperti komunitas reptil atau elang, juga pemicu tingginya perburuan satwa di alam. Mereka sering membawa satwa kemana-mana.
"Satwa liar itu lebih indah di alam. Kalau mereka diambil dari alam, walaupun cuma seekor akan berpengaruh terhadap keberlangsungan ekosistem rantai makanan."
Irma menyarankan, agar masyarakat segera melaporkan kepada BKSDA di masing-masing provinsi jika melihat atau menemukan satwa liar yang dilindungi. Ada aturan hukum dan kaidah-kaidah tertentu tentang penyelamatan satwa.
Salah satunya aturan tentang penangkaran, dimana seseorang yang akan melakukan hal tersebut harus mengetahui asal muasal satwa tersebut dengan jelas. Jangan sampai ditangkar dulu, baru izinnya keluar.
Menyikapi marakanya penjulaan dan perburuan satwa dilindungi, Sekditjen Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam (PHKA) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Novianto Bambang, mengaku sudah melakukan beberapa hal untuk melindungi satwa-satwa yang dilindungi agar tidak diburu oleh manusia.
"Untuk melindungi ancaman satwa dari kepunahan, kita sudah punya beberapa perangkat dan strategi yang sudah dilakukan. Salah satunya dengan meningkatkan keamanan didalam kawasan satwa agar mereka bebas di alam. Kami juga bekerjasama dengan pihak luar seperti NGO, dan sudah mengingatkan kepada petugas bandara, pelabuhan, agar melaporkan jika ada yang membawa hewan yang dilindungi," ujar Novi.
Menurut Novi, Ancaman 2015 hampir sama karena situasi Indonesia cukup potensial untuk dilirik sebagai tujuan Internasional.
"Banyak pengusaha penyelundup yang memanfaatkan situasi Indonesia karena demografi dan aturan serta pengawasan yang terbatas. Kita tuh dilirik oleh negara luar seperti Eropa dan Amerika, jadi kita harus bertahan terhadap hal-hal yang tidak menguntungkan. Di tahun 2015, kita tingkatkan lagi pengamanan, apalagi Kementerian Lingkungan Hidup dan kehutanan sudah digabung."
Editor: Antonius Eko