KBR, Jakarta - Lahan yang ada di Indonesia, bisa jadi punya banyak status. Entah itu milik individu, pengusaha, pemerintah, tanah adat atau malah berstatus hutan lindung. Tumpang tindih kepemilikan dan penguasaan lahan terjadi di sejumlah daerah di Indonesia.
Akibatnya, muncul konflik lahan dan sosial antara pemerintah dengan pengusaha, pemerintah dengan masyarakat, pengusaha dengan masyarakat, bahkan antar sesama instansi pemerintah.
Ini terjadi karena sejumlah instansi memiliki peta berdasarkan sektoral dan kepentingan masing-masing. Belum ada satu peta yang menjadi rujukan bersama. Nah, Pemerintah yang baru berkomitmen menerapkan satu peta untuk kebijakan semua kementerian atau One Map Policy.
Menurut Nurdiana B. Darus, Deputi Teknologi, Sistem dan Monitoring Badan Pengelola REDD+, One Map policy adalah usaha atau gerakan dari pemerintah untuk mendapatkan referensi data kepada masyarakat, agar memberikan kenyamanan diantara instansi pemerintahan dan investor, agar tak terjadi tumpang tindih.
"Sebelumnya, semua instansi pemerintah memakai petanya masing-masing. Sayangnya, peta yang diberikan pada perusahaan over lap atau tumpang tindih. Inilah yang memicu kesalahpahaman. Tapi, ini bukan suatu hal yang gampang untuk dilakukan, mengingat besaran lahan Indonesia yang luas sekali, " ujarnya saat berbincang bersama KBR pada program Bumi Kita, Kamis (22/1).
Untuk mewujudkan hal ini, perlu kerjasama dengan pemerintah daerah untuk mendapatkan input, karena ada lisensi atau data yang mereka keluarkan.
Dalam hal ini, Nurdiana mengaku, Badan Pengelola REDD+ menjadi wali data sementara untuk peta masyarakat hukum adat. Saat ini pihaknya sedang dalam proses kerjasama dengan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara AMAN, untuk melihat hal-hal yang telah dicapai.
Dari proses itu, AMAN sudah mulai memetakan area yang ada hukum adatnya. Nantinya, hal ini akan di diskusikan bersama agar peta tersebut bisa dimasukkan dalam One Map Policy. Namun, kesulitan dalam pemetaan lahan adat adalah faktor budaya dan nenek moyang, jadi penempatannya kadang tak kasat mata.
"Akan ada 12 tematik peta yang akan dikeluarkan, salah satunya peta tutupan lahan, mangrove dan padang lamun. Saat ini kami sedang mendorong Badan Informasi Geospasial agar membuat pokja peta masyarakat hukum adat untuk tematik yang ke 13, supaya ada pemaparan lingkupan yang jelas,” kata Nurdiana.
One Map Policy ini dilaksanakan dan diawasi oleh Badan Informasi Geospasial (BIG), sesuai dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2011 tentang Informasi Geospasial (UU IG). Dalam Undang-undang tersebut dijelaskan peta dasar disiapkan oleh BIG yang mencakup tiga tematik dari masing-masing instansi terkait. Ketiga tema itu adalah Peta Rupa Bumi Indonesia, Peta Lingkungan Pantai Indonesia dan Peta Lingkungan Laut Indonesia.
Semua instansi pemerintah, nantinya memakai peta dasar yang disiapkan BIG, agar memudahkan informasi dan pendataan. Jika One Map Policy sudah keluar, perizinan akan tertata dengan baik, menghindari konflik, serta dapat merencanakan penggunaan lahan untuk tata ruang dan wilayah.
Ketua Umum Asosiasi Perusahaan Survei Pemetaan, Laksito Pararto menjelaskan cara pengolahan data untuk One Map Policy. Menurutnya, data bisa diambil dari udara, laut dan darat. Masyarakat pun boleh berpartisipasi memberikan informasi data, karena nantinya peta ini tersedia di semua Badan Informasi Geospasial dan bisa diakses siapa pun.
"Bagi masyarakat yang ingin memberikan informasi terkait lahan dan sebagainya, boleh saja mengunduh laporan dan foto, serta melihat informasi lainnya melalui http://ina-sdi.or.id , asalkan data yang diberikan valid dan bisa dipertanggungjawabkan," ujar Laksito.
Editor: Antonius Eko