KBR, Jakarta – Terkikisnya pandangan soal kebhinekaan di tengah masyarakat dikhawatirkan menjadi ancaman bagi keberadaan Negara Kesatuan RI (NKRI). Selama ini, sikap menghargai perbedaan di Indonesia kerap mendapat ujian dari warganya sendiri.
Lembaga Maarif Institute menilai selama ini keberagaman hanya menjadi jargon-jargon politik penguasa. Banyak pemimpin negara yang dianggap gagal menerapkan dan mengamalkan cara bagaimana menghargai perbedaan.
Faktanya, menurut Redaktur Pelaksana Jurnal Maarif Institute, Hielmy Pribadi, di Indonesia masih banyak konflik-konflik yang melanda kelompok minoritas. Sebut saja seperti kasus GKI Yasmin yang tak kunjung selesai, kasus penyegelan masjid milik jemaat Ahmadiyah di berbagai daerah, hingga pelarangan terhadap paham Syiah berkembang di Indonesia.
“Saya belum melihat adanya keinginan dari Pemerintah untuk mengelola kemajemukan, kebhinnekaan. Sehingga banyak kasus intoleran yang melanda kelompok minoritas,” kata Hielmy dalam perbincangan di Program “Agama dan Masyarakat” di KBR beberapamwaktu lalu.
Ia melanjutkan, sebenarnya masyarakat bisa berharap kepada rezim yang dipimpin oleh Joko Widodo. Sebab, selama masa kampanyenya Jokowi menempatkan masalah intoleransi ini di peringkat ketiga. Itu artinya permasalahan tersebut masih dianggap penting untuk diselesaikan.
“Hanya saja, kita toh belum bisa berharap banyak mengingat masa kepemimpinannya baru berjalan seumur jagung. Dan belum ada juga kebijakan strategis untuk mencegah timbulnya konflik yang berakar pada masalah keagamaan,” katanya.
Pendapat ini sebelumnya juga telah diungkap dalam jurnal yang diterbitkan lembaga yang didirikan mantan Ketua Umum Pengurus Pusat Muhammadiyah, Ahmad Syafii Maarif itu.
Warisan SBY
Terkait dengan hal itu, Hielmy juga berpendapat, satu-satunya warisan bekas Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang menjanjikan adalah jabatan Menteri Agama yang dijabat oleh Lukman Hakim Saifuddin.
Sebagaimana diketahui, jabatan Lukman Hakim kemudian berlanjut di era kepemimpinan Jokowi-JK. Lukman Hakim dinilai memiliki kemauan untuk mengurusi hal-hal yang menjadi sumber permasalahan selama ini. Semisal, sejak ia menjabat sebagai Menteri Agama, Pemerintah mulai mau berdialog dengan kelompok minoritas yang umumnya sering menerima perlakuan diskriminatif dari kelompok intoleran.
“Selain itu, ia juga berjanji untuk menampung serta melindungi hak-hak mereka. Ini belum pernah terjadi saat Suryadharma Ali menjabat sebagai Menteri Agama,” tegasnya.
Ia juga menambahkan, selama ini banyak kasus intoleran terjadi lantaran adanya pembiaran oleh negara. Akibatnya, kasus-kasus intoleransi marak di berbagai pihak. “Itu artinya, Pancasila belum tertanam di dalam kehidupan sehari-hari masyarakat. Padahal, negara perpedoman pada itu,” tegasnya.
Jadi bisa disimpulkan bahwa jalan masih sangat terjal untuk menciptakan politik yang berbhinneka. “Masyarakat masih menanti janji-janji Jokowi-JK saat berkampanye lalu. Yang katanya senantiasa ingin mengelola kebhinnekaan dan memberikan rasa aman bagi warganya untuk melaksanakan aktifitasnya,” tutup Hielmy.
Editor: Anto Sidharta
Maarif Institute: Soal Kebhinekaan, Masyarakat Tunggu Janji Jokowi
Terkikisnya pandangan soal kebhinekaan di tengah masyarakat dikhawatirkan menjadi ancaman bagi keberadaan Negara Kesatuan RI (NKRI). Selama ini, sikap menghargai perbedaan di Indonesia kerap mendapat ujian dari warganya sendiri.

Maarif Institute, Kebhinekaan, Masyarakat, Jokowi
Kirim pesan ke kami
WhatsappRecent KBR Prime Podcast
Kabar Baru Jam 7
Strategi Perempuan Pengemudi Ojol Mengatasi Cuaca Ekstrem (Bag.4)
Arab Saudi Bangun Taman Hiburan Bertema Minyak di Tengah Laut
Menguji Gagasan Pangan Cawapres
Mahfud MD akan Mundur dari Menkopolhukam, Jokowi: Saya Sangat Hargai