Reuni keluarga
Vitor, Alexhia dan Biliki terhitung beruntung karena pada akhirnya bisa bertemu kembali dengan keluarga mereka yang lama terpisah. November 2012 silam, beberapa dari mereka melakukan reuni. Reuni seperti ini diharapkan bisa terjadi lagi, jika makin banyak ditemukan anak-anak Timor Leste yang mencari jati diri mereka setelah dipindahkan ke Indonesia.
Isabelinha Pinto juga berhasil bertemu keluarganya kembali setelah terpisah selama 30 tahun. Isabelinha dibawa tentara Indonesia dari Timor Leste pada 1979. Begitu tiba di Indonesia, dia tak boleh bertanya apa pun soal Timor Leste.
"Ada banyak firasat yang saya rasakan selama tinggal di Indonesia," kata Isabelinha. Berbekal nama orangtua yang masih diingatnya, Isabelinha akhirnya berhasil bertemu keluarga.
Menurut Komisioner KOMNAS HAM Sandra Moniaga, “Reuni penting dilakukan untuk memenuhi hak-hak anak yang ingin mengetahui keluarga mereka.” Secara formal, Komnas HAM sudah menjalin kerjasama dengan PDHJ TImor Leste, satu-satunya institusi HAM di Timor Leste yang dibentuk pada 2004. Namun peliknya menelusuri jejak anak-anak Timor Leste yang dipindahkan ke Indonesia membuat Komnas HAM merasa reuni ini harus didahulukan.
Namun tak semuanya seberuntung Vitor, Alexhia dan Biliki. Masih ada orang-orang seperti Rafael Urbano Soares yang mencari keponakannya, Cipriano, yang diambil oleh seorang istri tentara saat mereka sama-sama ada di Panti Asuhan Seroja, milik TNI di Dili.
“Kami dibawa pakai helikopter tentara. Kami pikir waktu itu Tuhan pasti sayang kami. Kami ini orang miskin, kok bisa terbang naik helikopter,” kenang Urbano, yang kini bekerja di kantor pemerintahan di Distrik Viqueque, Timor Leste.
Tapi di Dili, ia terpisah dengan Cipriano. Dan hingga kini orangtua Cipriano masih terus bertanya-tanya, di mana dan bagaimana kabar anak mereka sekarang.
Helene van Klinken, peneliti dan penulis buku "Anak-anak Tim-Tim di Indonesia: Sebuah Cermin Masa Kelam" mengatakan, ia tak ingin kisah anak-anak Timor Leste ini berhenti di penelitian. “Kalau ini hanya diceritakan, tidak ada yang ingat. Karena itu saya buat jadi buku, sehingga orang membaca,” kata Helene.
Menurut Helene, ini adalah bagian dari sejarah Indonesia yang perlu diketahui saat bicara soal Timor Timur. Yang lebih penting, kata Helene, adalah mempertemukan keluarga yang terpisah ini. “Soal warga negara mereka mau pilih yang mana, itu urusan belakangan.”
Helene seperti ingin mengingatkan kembali kalau korban terbesar dari sebuah perang atau konflik adalah kebenaran. Dan buku ini membuka lembaran sejarah Timor Timur yang mungkin tak banyak orang tahu, tapi menyisakan pekerjaan rumah bagi kedua negara tetangga Indonesia dan Timor Leste ini.
Jika Anda merasa sebagai anak Timor yang terpisah dari keluarga dan ingin mengetahui jejak keluarga, Anda bisa menghubungi Vitor Da Costa di email vitor.leste@gmail.com Kunjungi juga website Istoriaku yang merangkum kisah anak-anak Timor Leste yang dipisahkan dari keluarga. Laman ini diharapkan juga bisa mempertemukan kembali keluarga yang tercerai berai.