Terpisah
Dalam peluncuran bukunya, "Anak-anak Tim-Tim di Indonesia: Sebuah Cermin Masa Kelam", Helene van Klinken memulai dengan membawakan kisah Biliki.
Biliki adalah seorang anak Timor Timur yang dibawa ke Indonesia oleh seorang tentara Kopassus pada akhir 1970an. Kepada Helene, Biliki mengaku tak bahagia lantaran jauh dari keluarga. Selama berpuluh tahun, Biliki mencari cara untuk kembali ke tanah kelahirannya.
“Selama masa Orde Baru, saya tidak berani mencari,” kata Biliki dalam buku Helene.
Pada saat itu, isu Timor Timur memang sangat sensitif. Biliki mulai berani mencari sejak berakhirnya Orde Baru dan kemerdekaan Timor Leste pada 1999. Pencarian Biliki berlabuh di Komisi untuk Penerimaan, Kebenaran dan Rekonsiliasi di Timor Leste (CAVR) yang lantas menyiarkan kisah Biliki di radio. Biliki beruntung, karena saudara-saudaranya mendengarkan kisah itu dan akhirnya mereka kembali bertemu.
Itu baru satu modus: di mana anak diambil oleh tentara.
Kisah lainnya diceritakan Alexhia Cordova da Silva Soares pada KBR68H beberapa tahun lalu. Alexhia juga diambil tentara Indonesia, usianya waktu itu baru 40 hari. Jelas tak mungkin mengenal atau mengingat siapa ibu kandungnya. Sang ibu kandung, Sabina Ximenes, dipaksa menandatangani surat yang disodorkan tentara: bahwa sang anak diserahkan secara sukarela. Ia merasa anaknya diambil lantaran ia mendukung dan memiliki keluarga Fretilin.
“Setiap kali saya melihat ibu yang sedang menyusui anaknya, saya ingat Alexhia,” kata Sabina di Los Palos saat mengenang anaknya yang dibawa ke Ponorogo, Jawa Timur. Selama belasan, satu-satunya kenangan Sabina adalah foto bayi Alexhia saat akan diserahkan kepada bapak angkat.
Tak ada kontak sedikit pun di antara mereka. Sabina hanya yakin saja kalau anaknya masih hidup. Alexhia baru diberitahu ayah angkatnya kalau dia adalah anak Timor ketika ia berusia 16 tahun. Pencarian panjang, yang melibatkan bekas Perdana Menteri Xanana Gusmao ini, akhirnya membawa Alexhia kembali pulang.
Modus lainnya adalah anak dibawa oleh orang biasa.
Ini dialami Vitor da Costa, yang sekarang menjadi Ketua IKOHI (Ikatan Orang Hilang) Jakarta. Vitor kecil dibawa ke Indonesia oleh seorang kontraktor asal Indonesia yang bekerja di Timor Timur. Ayah angkatnya tak pernah menyembunyikan fakta kalau Vitor adalah anak Timor. Tapi baru ketika ia berusia 34 tahun, Vitor kembali ke tanah kelahirannya. Siapa sangka, di sana ia justru menemukan kuburan dirinya sendiri yang dibangun oleh keluarga. Keluarga rupanya sudah menyerah mencari Vitor dan menganggapnya mati. Vitor harus melewati serangkaian upacara adat dahulu untuk “dihidupkan” kembali dan bisa diterima di keluarganya.
Apa yang perlu dilakukan untuk memenuhi hak anak-anak ini untuk bertemu kembali dengan keluarga?