KBR, Jakarta - Peneliti Hukum Lingkungan Indonesia (ICEL), Budi Afandi menegaskan krisis hakim bersertifikat lingkungan harus segera diakhiri. Ia merujuk pada kasus Pengadilan TInggi Meulaboh yang menjatuhkan denda pada PT Kalista Alam lantaran dianggap merusak lingkungan.
Ia menyebut, hakim yang memiliki sertifikat lingkungan bakal mencegah timbulnya kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh perusahaan-perusahaan nakal. Katanya, denda besar yang diwajibkan kepada PT Kalista Alam akan menjadi terapi kejut bagi perusahaan nakal.
"Kenapa sampai hakim-hakim itu harus diberi sertifikasi lingkungan. Karena memang orientasinya memang untuk menangani kasus-kasus lingkungan. Itu sangat penting mengingat kasus-kasus lingkungan memang harus ditangani secara spesifik. Karena hakim-hakim harus memiliki pengetahuan yang spesifik juga, sehingga ini sangat penting dan diperlukan ke depannya. Itulah makanya kenapa MA sudah menggelar hingga tiga kali proses itu," ujar Budi ketika dihubungi KBR melalui sambungan telepon, Selasa (1/8)
Budi Afandi menambahkan, saat ini hanya ada sekitar 150-an hakim bersertifikat lingkungan di seluruh Indonesia. Padahal dibutuhkan setidaknya 250-an hakim yang memiliki sertifikasi lingkungan untuk disebar di seluruh wilayah di Indonesia.
Sebelumnya, PT Kalista Alam dianggap bersalah karena merusak lingkungan. Perusahaan tersebut digugat Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) ke PN Meulaboh karena mereka membuka kawasan gambut Rawa Tripa. Proses persidangan itu dipimpin Majelis Hakim yang memiliki sertifikasi lingkungan. Pengadilan memutus PT Kalista Alam membayar ganti rugi materi sekitar Rp 114 miliar dan biaya pemulihan lingkungan lebih dari Rp 251 miliar.
Editor: Antonius Eko