Front Pembela Internet(FPI) bersama Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) hari ini (17/1) mendaftarkan gugatan uji materi ke Mahkamah Konstitusi terkait Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) di sektor telekomunikasi.
FPI dan APJII menggugat Pasal 2 dan Pasal3 Undang-undang Nomor 20 tahun 1997 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak (UU PNBP) dan Pasal 16 dan Pasal 26 Undang-undang Nomor 36 tahun 1999 tentang Telekomunikasi (UU Telekomunikasi).
"Kami menilai dua UU ini inkonstitusional karena telah melanggar hak berusaha dan hak mendapatkan informasi," kata penggugat dalam keterangan pers.
Menurut FPI dan APJII, dalam indutri telekomunikasi setidaknya ada empat macam PNPB, yaitu Biaya Hak Penyelenggaraan (BHP) frekuensi, BHP telekomunikasi, BHP jasa telekomunikasi dan BHP konten.
Para penggugat merasa berbagai pungutan itu terlalu membebani para pelaku bisnis internet dengan biaya-biaya yang tidak perlu. Selain itu, rumusan tarif BHP jasa telekomunikasi juga dinilai tidak fair, karena dihitung 1% dari pendapatan kotor.
"Pajak pendapatan badan saja dihitung berdasarkan keuntungan." Undang-undang itu juga memasukkan pendapatan dari usaha sampingan, yang sebenarnya berasal dari usaha non-telkom, juga dihitung sebagai pendapatan yang menjadi obyek BHP.
Para penggugat melihat UU PNBP bermasalah karena besaran dan tarif BHP itu ditentukan sesuka-sukanya pemerintah, dalam hal ini Kementerian Komunikasi dan Informatika. Di dalam UU memang dikatakan, jenis dan tarif PNPB selain yang disebut dalam UU tersebut dapat diatur melalui Peraturan Pemerintah.
"Ini inkonstitusional karena bertentangan dengan pasal 23A UUD 1945 yang mengatakan “pajak dan segala pungutan memaksa lainnya diatur dengan Undang-undang”. PNPB adalah salah satu pungutan memaksa, maka tak boleh diatur oleh PP!"
PNPB dinilai membebani industri terlalu berat karena berbagai pungutan itu mengakibatkan “ekonomi biaya tinggi”. Pungutan-pungutan ini membuat industri sulit berkembang dan berekspansi. Akibat penerapan UU ini, menurut para penggugat, setidaknya ada 12 perusahaan penyelenggara jasa internet yang ditutup oleh Kemkominfo karena tidak mampu membayar BHP.
Para penggugat berpendapat, berbagai pungutan itu jelas berdampak pada kenaikan harga. "Ujung-ujungnya, konsumen juga yang dirugikan karena tarif layanan internet menjadi lebih mahal."
Akibat lebih jauh, ini akan menimbulkan kesenjangan digital (digital divide), yaitu kesenjangan akses internet antara warga yang mampu dan kurang mampu. Rentetannya, ini akan menimbulkan kesenjangan informasi, kesenjangan pengetahuan, kesenjangan berusaha, maupun kesenjangan menyuarakan pendapat.
Selain mengajukan uji materi ke MK, FPI dan APJII juga mendesak DPR RI untuk menunda pembahasan RUU Penerimaan Negara Bukan Pajak (RUU PNBP) yang masuk dalam daftar prolegnas 2014 selama proses hukum di MK berlangsung.
"Kami berharap MK mengabulkan gugatan ini," kata Ahmad Suwandi, pegiat internet, yang bersama-sama Ketua APJII Sammy Pangarepan mempercayakan gugatan uji materi itu kepada Pradnanda Berbudy dan Daru Supriyono selaku kuasa hukum pemohon.
FPI Gugat Berbagai Pungutan di Industri Internet
Para penggugat merasa berbagai pungutan itu terlalu membebani para pelaku bisnis internet dengan biaya-biaya yang tidak perlu. Selain itu, rumusan tarif BHP jasa telekomunikasi juga dinilai tidak fair, karena dihitung 1% dari pendapatan kotor.

NASIONAL
Jumat, 17 Jan 2014 14:22 WIB


Front Pembela Internet, APJII, pungutan internet, uji materi UU Penerimaan Negara Bukan Pajak
Kirim pesan ke kami
WhatsappRecent KBR Prime Podcast
Kabar Baru Jam 7
Strategi Perempuan Pengemudi Ojol Mengatasi Cuaca Ekstrem (Bag.4)
Arab Saudi Bangun Taman Hiburan Bertema Minyak di Tengah Laut
Menguji Gagasan Pangan Cawapres
Mahfud MD akan Mundur dari Menkopolhukam, Jokowi: Saya Sangat Hargai