KBR68H, Jakarta - Deklarasi Situ Gintung sepakati pencarian dana dengan kekerasan. Pengamat terorisme, Al Chaidar menjelaskan jihad Deklarasi Situ Gintung berawal sejak 1980an yang dikawal Darul Islam. Sebelumnya, kelompok teroris yang disergap di Ciputat, Tangerang Selatan pernah membuat jihad Deklarasi Situ Gintung 2012. Selain mencari dana dengan kekerasan, deklarasi juga membagi wilayah sasaran jihad, pembinaan fisik dan mental dan melakukan pembunuhan orang kafir.
Kata Al Chaidar, deklarasi itu awalnya dilakukan oleh salah satu kelompok terorisme terbesar di Indonesia yaitu Darul Islam (DI). Saat itu, deklarasi untuk menghimpun kekuatan untuk membentuk negara Islam di Indonesia. Dia menambahkan, alasan memilih wilayah Situ Gintung untuk dijadikan tempat deklarasi adalah karena saat itu banyak ustad dan guru dari Darul Islam tengah mendalami ilmu agama di IAIN Syarief Hidayahtullah yang sekarang berubah menjadi UIN Syarief Hidayahtullah.
“Itu kelompok-kelompok Darul Islam lama yang pernah membuat sebuah pernyataan bahwa mereka ingin berjuang habis-habisan untuk menegakkan Negara Islam di Indonesia dan menerapkan syariat Islam dan kelompok-kelompok tersebut itu merupakan kelompok-kelompok yang tradisional yang merupakan generasi tahun 70an yang dulu para ustadnya atau para gurunya itu berasal dari dosen-dosen yang ada di UIN atau IAIN dulunya yah,” ujarnya kepada KBR68H.
Pengamat terorisme, Al Chaidar menambahkan, setelah periode tahun 1980an tersebut terjadi kembali deklarasi di Situgintung, tidak lain adalah untuk mengenang sejarah, kelompok garis keras yang pernah melakukan hal yang sama. Kata dia, kelompok yang melakukannya juga adalah kelompok yang sama, yaitu Darul Islam.
Sebelumnya Kepolisian Indonesia menyatakan kelompok teroris yang dilumpuhkan di Ciputat, Tangerang Selatan, malam tahun baru lalu terlibat dalam jihad Deklarasi Situ Gintung 2012. Juru Bicara Kepolisian Indonesia, Boy Rafli Amar mengatakan, deklarasi itu bertujuan melanjutkan jihad kelompok batalyon Abu Umar yang saat ini masih dalam buronan polisi.
Editor: Rony Sitanggang