KBR68H, Jakarta - Bencana banjir dan tanah longsor yang melanda berbagai daerah di Indonesia, terutama di Jawa, dan telah memakan korban 60 jiwa, adalah bencana ekologis yang harus dicermati semua pihak.
Dalam environmental outlook 2013 yang dirilis Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Selasa (22/1), 46,8% problem lingkungan di Pulau Jawa merupakan bencana ekologis. Pembangunan yang tidak meletakkan lingkungan sebagai faktor utama mengakibatkan daya dukung ekologis terus merosot. Dalam catatan WALHI, bencana ekologis menempati posisi yang tinggi seperti DKI (51,9%). Banten (62,5%), dan Jabar (48,0%). Bencana ekologis ini merupakan akumulasi krisis dari panjangnya sejarah pembangunan destruktif yang terjadi selama ini.
WALHI mengkritik, Analisis Dampak Lingkungan dan KLHS sering tidak diperhatikan dengan serius dalam pembangunan infrastruktur. Perencanaan tata ruang di berbagai daerah juga memperlihatkan kepekaan terhadap dampak lingkungan sangat minim, misalnya RTRW di sebuah daerah di Jawa Tengah yang menempatkan kawasan pegunungan kars sebagai kawasan industri, mengubah kawasan pesisir di selatan Jawa sebagai kawasan tambang dan masih banyak perubahan tataruang yang tidak memperhatikan keselamatan warga dan keberlanjutan ekologis.
Lebih jauh LSM lingkungan ini melihat dampak nyata perubahan peruntukan sejak 10 tahun terakhir sudah dirasakan penduduk Pulau Jawa, namun beban lingkungan ini tidak pernah diperhatikan secara serius.
"Lima wilayah di Jawa Pulau Jawa sudah berada diambang kehancuran. (Karena itu kami) merekomendasikan penghentian model pembangunan yang eksploitatif, destruktif dan mengabaikan kemampuan alam untuk merevitalisasi dirinya seperti sekarang ini," kata Direktur Eksekutif Nasional WALHI Abetnego Tarigan.