Bagikan:

Pergeseran Kelas Menengah NU Menuju Radikalisme

KBR68H, Jakarta - Setara Institute merilis hasil penelitian yang menunjukkan bahwa daerah Jawa Timur merupakan daerah yang termasuk tinggi tingkat intoleransinya.

BERITA | NASIONAL

Selasa, 08 Jan 2013 11:27 WIB

Ilustrasi.

Ilustrasi.

KBR68H, Jakarta - Setara Institute merilis hasil penelitian yang menunjukkan bahwa daerah Jawa Timur merupakan daerah yang termasuk tinggi tingkat intoleransinya. Menanggapi hasil penelitian itu, peneliti sekaligus akademisi dari IAIN Sunan Ampel Suyitno fenomena menipisnya intoleransi di wilayah Jawa Timur disebabkan oleh pergeseran kelas menengah Nahdatul Ulama (NU) yang awalnya moderat menjadi kelompok islam radikal. Dia menambahkan, hal tersebut diperkuat oleh penelitiannya di beberapa daerah di Jawa Timur seperti Malang, Pamekasan, Ngawi, dan sebagainya.

Menurutnya, pergeseran tersebut diantaranya disebabkan globalisme. Pasca reformasi, banyaknya kelompok trans nasional menurutnya turut mengubah pola pikir kaum menengah NU. Untuk itu dia mengingatkan kepada khalayak bahwa Indonesia dibentuk dengan azas pancasila, bukan oleh ideology agama tertentu. Dia menambahkan, saat ini banyak faktor yang membuat intoleransi menjamur seperti kepentingan politik dan ekonomi.

Ketua Bidang Hubungan antar Umat Nahdatul Ulama,Rubaidi mengamini pendapat Rubaidi soal faktor eksternal tersebut. Menurutnya, pergeseran haluan dari moderat kearah radikal dapat terjadi kepada semua entitas setiap golongan di manapun berada.
 
“Motif survival dapat dilihat sebagai faktor utama.” tambahnya.
 
Untuk mengikis tingkat intoleransi itu, Suyitno mengharapkan peran serta para pemimpin masyarakat seperti kyai untuk memberdayakan masyarakat melalui visinya yang tidak tekstual. Menurutnya, sikap arif dari para kyai justru akan menjadi faktor penting untuk meredam gelombang intolerasi. Sebab, menurutnya kelompok intoleran kerap kali memanfaatkan pernyataan atau fatwa kyai untuk menjustifikasi aksi intolerannya.

Dia mencontohkan, dalam kasus Syiah di sampang para kyai termasuk Rois sempat mendesak Kyai Sahal untuk mengeluarkan fatwa haram tentang Syiah. Namun demikian menurut Rubaidi, kyai Sahal menolak berkomentar sedikitpun soal syiah karena takut komentarnya dimanfaatkan untuk menjustifikasi tindakan intoleran.

Menanggapi hal tersebut, Rubaidi menuturkan bahwa media massa juga memegang kunci penting dalam hal ini. Menurutnya, media jangan memperkeruh konflik dengan pemberitaannya melainkan harus menjadi peredam konflik. Caranya adalah dengan memunculkan para tokoh atau kyai yang memiliki visi toleransi.

“Gus Dur itu tidak hanya satu. Orangnya memang sudah meninggal tapi visinya masih banyak dianut.” Kata Rubaidi.

Menurutnya, media lah yang bertugas untuk memunculkan figure-figur toleran sehingga dapat mempengaruhi pola piker masyarakat dan mencegah laju pergeseran ke arah radikalisme. Dia juga mengingatkan kepada warga NU khususnya, bahwa peran NU dalam sejarah terbentuknya Negara ini sangat besar.

“Kalau tidak ada NU mungkin tidak akan terbentuk Negara Indonesia ini.” imbuh Rubaidi

Kirim pesan ke kami

Whatsapp
Komentar

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!

Kabar Baru Jam 7

Strategi Perempuan Pengemudi Ojol Mengatasi Cuaca Ekstrem (Bag.4)

Arab Saudi Bangun Taman Hiburan Bertema Minyak di Tengah Laut

Menguji Gagasan Pangan Cawapres

Mahfud MD akan Mundur dari Menkopolhukam, Jokowi: Saya Sangat Hargai

Most Popular / Trending