Semua pemerintah harus segera melaksanakan rekomendasi terbaru Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization) Perserikatan Bangsa-bangsa untuk menghapus “tes keperawanan” bagi perempuan. Tes ini merendahkan, diskriminatif, dan tidak ilmiah, kata Human Rights Watch.
Rekomendasi yang dimuat dalam buku panduan WHO November 2014 menyatakan bahwa petugas kesehatan tak harus melakukan tes keperawanan. Buku ini menegaskan hak asasi dan kenyamanan perempuan harus diutamakan, dan menekankan bahwa setiap pemeriksaan fisik dilakukan hanya bila mendapat persetujuan dan fokus pada perawatan medis yang diperlukan seorang perempuan.
WHO menyimpulkan bahwa tes keperawanan atau tes dua jari, yang masih dilakukan di beberapa negara untuk membuktikan keperawanan anak perempuan, adalah tidak ilmiah.
Penerapan tes keperawanan terjadi di sejumlah negara di seluruh dunia, kata Human Rights Watch. Misalnya, pemerintah Afghanistan sering menuduh perempuan dan anak gadis melakukan kejahatan moral, seperti zina dan dan menyatakan zina harus dibuktikan melalui tes keperawanan.
Tes ini bisa dilakukan dua atau tiga kali pada perempuan yang sama karena keputusan yang buruk atau prosedur yang dianggap keliru sehingga harus diulangi. Kadang-kadang ia juga dikenakan secara paksa kepada perempuan yang dituduh melakukan kejahatan lain, seperti perampokan dan penyerangan.
Di Timur Tengah dan Afrika Utara, banyak perempuan menjalani tes keperawanan dalam berbagai keadaan, termasuk atas perintah keluarga mereka. Pada 2011, beberapa demonstran di Mesir bersaksi bahwa seorang dokter militer memaksa mereka melewati tes keperawanan.
Sebuah pengadilan tata usaha Mesir memutuskan bahwa tes keperawanan pada perempuan dalam tahanan merupakan tindakan ilegal, melanggar hak perempuan dan menjatuhkan martabat mereka.
Namun pada Maret 2012, satu-satunya perwira militer yang dituntut karena lakukan tes keperawanan dibebaskan. Meskipun sudah ada putusan pengadilan, praktik ilegal ini masih dilakukan dalam rumah tahanan Mesir.
Di Indonesia, kepolisian memasukkan tes keperawanan sebagai bagian dari seleksi kesehatan calon polwan. Beberapa polwan senior menyatakan keberatan dan menuntut tes tersebut dihapus.
Tes keperawanan telah diakui secara internasional sebagai pelanggaran hak asasi manusia, berdasarkan pasal 7 dari Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik (ICCPR) dan pasal 16 pada Konvensi Menentang Penyiksaan, keduanya sudah diratifikasi banyak negara termasuk Indonesia.