KBR, Thailand - Menjumpai Filomena Barros Reis (50) seperti menjumpai kawan lama yang hilang, lalu bertemu kembali. Empat belas tahun lalu, tepatnya tahun 2000, dalam sebuah pertemuan singkat di Bangkok, Thailand, Filomena Barros hadir dengan mata berkaca-kaca. Suaminya hilang. Teman-teman perempuannya tertembak mati.
Masa lalunya sangat kelam. Mena, begitu ia biasa dipanggil, adalah seorang aktivis perempuan di Timor Leste. Ia berjuang untuk mencapai merdeka dari kepongahan tentara Indonesia di masa itu. Pencariannya pada suaminya yang tak kunjung bertemu dan kehilangan banyak saudara dan teman merupakan kisah pahit yang ia simpan hingga kini.
Tak Menangis Lagi
Namun dalam pertemuan tak terduga pada siang di pertengahan November ini, dalam Konferensi Perempuan Asia Pasifik: Beijing+20 di kota Bangkok, ia tak lagi menangis. Ia memeluk hangat. Ia justru mensyukuri perjumpaan kami kembali.
“Bangkok telah mempertemukan kita kembali. Saya senang bertemu orang Indonesia dan kami sudah merasa seperti saudara sekarang. Kini saya sudah bisa pelesir kemana-mana tanpa rasa takut. Anak-anak saya punya harapan baru,” itu katanya.
Dulu ia selalu menangis jika bercerita tentang banyaknya saudara dan teman-temannya yang meninggal, tertembak dalam peristiwa Timor-timor. Betapa ia mendambakan sebuah kemerdekaan dengan rakyat yang bertumbuh.
“Tak apa bertumbuh dari nol, yang paling penting kami bisa bebas dan bekerja membangun negeri kami sendiri. Walau kami sedang membangun banyak hal, pembangunan manusia, pelatihan pemuda-pemudi untuk misi persahabatan antar negara,” Itu katanya.
Saat ini Timor Leste adalah negeri yang sedang membangun, kemiskinan tampak terjadi di sejumlah tempat, akses internet yang masih sulit dan penataan kembali infrastruktur dengan pemerintahan yang baru.
“Tapi kami senang karena kami sudah merdeka, bicara merdeka berarti bicara aspirasi. Kami sedang membangun keadilan ekonomi, keadilan untuk bersuara, apa yang saya harapkan terjadi kini.”
Cerita Filomena
Filomena memulai ceritanya. Pasca Timor Leste merdeka, ia sempat ke Swedia untuk bersekolah selama setahun. Setelah itu ia kembali ke Timor Leste dan memutuskan untuk mengelola sebuah lembaga perempuan.
Pada 2011 karena kegigihannya dan perjuangannya di isu perdamaian, ia kemudian mendapatkan penghargaan N-Peace Award dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan jaringan perempuan perdamaian dunia.
“Saya senang mendapat penghargaan itu, itu penghargaan yang sangat berharga bagi negeri kami,” begitu Filomena Baros.
Tak mudah memang hidup di daerah pasca konflik. Data AJAR (Asia Justice and Right) menunjukkan bahwa dari 140 perempuan yang berada di daerah konflik dan mengalami persoalan, hanya ada 10 orang yang mau melanjutkan perjuangannya hingga ke pengadilan. Kasus ini banyak menimpa para perempuan pasca konflik di Indonesia, Myanmar dan Timor Leste.
Di lembaga perempuan dan perdamaian yang dibangunnya, Mena kemudian juga berjuang untuk partisipasi perempuan dalam politik. Di negara yang baru merdeka ini, Mena kemudian ikut meletakkan dasar pembangunan untuk perempuan. Menurutnya perempuan harus mempunyai akses politik, ekonomi, sosial dan budaya yang sama dengan laki-laki.
“Karena kami sedang membangun, maka antara masyarakat sipil dan pemerintah saling bekerjasama. Kita bisa melihat bahwa partisipasi perempuan dalam politik di Timor Leste sangat tinggi yaitu 38%, 2 orang perempuan duduk di posisi menteri dan kami sudah mempunyai menteri pemberdayaan perempuan, bahkan kami sudah mempunyai kaukus perempuan politik.”
Tak Membenci Masyarakat Indonesia
Anak-anaknya kini sudah besar, ia besarkan anaknya sendiri tanpa suami yang hilang di masa gelap sebelum merdeka. Nivea Elizabeth Carlota kini sudah berumur 31 tahun dan menjadi sutradara film ternama di Timor Leste.
Salah satu filmnya yaitu “Betrice War” adalah film yang bercerita tentang perjuangan masyarakat Timor Leste merebut kemerdekaan dari Indonesia. Film itu kini banyak disukai masyarakat disana dan telah diputar berulangkali.
Anak kedua adalah Rotilia Julio Christina yang kini duduk di fakultas Kedokteran Universitas Nasional Timor Leste.
“Walau kondisi kami dulu selalu dalam tekanan, namun saya selalu mengajarkan perdamaian pada anak-anak saya. Saya tak pernah mengajarkan anak-anak untuk membenci musuh, tetapi saya selalu mengajarkan pada mereka agar mencintai musuh atau mengasihi orang yang membenci kita. “
“Kami hanya membenci perilaku tentara Indonesia di masa lalu. tetapi bukan membenci masyarakat Indonesia. Karena masyarakat Indonesia sebenarnya tidak banyak yang tahu apa yang terjadi pada kami dulu.”
Keyakinannya inilah yang sering ia paparkan dalam pidato-pidato dalam forum-forum perdamaian internasional. Ia pernah berpidato di forum perdamaian di Jenewa, di Australia dan di tingkat Asia. Ia selalu mengawali pidato masa lalunya dengan menangis, dan kemudian mengakhirinya dengan tersenyum.
“Saya lega, sudah melampaui masa lalu yang gelap, dan kini punya saudara baru, yaitu orang-orang Indonesia.”
Matanya tetap saja memerah, ia tak bisa menyembunyikan rasa pedih. Teringat suaminya yang telah lama hilang.
Editor: Antonius Eko