Selama 21 hari penuh, mulai 20 Agustus hingga 11 September 2014, lembaga East West Center yang berbasis di Honolulu, Hawaii menyelenggarakan program Senior Journalists Seminar bertema “Bridging Gaps between the US and the Muslim World”. Sebanyak 13 peserta berasal dari AS, Iran, Irak, Pakistan, India, Bangladesh, Palestina, Singapura, Malaysia dan Indonesia diajak berkeliling ke lima kota: Washington DC, Boston, Honolulu, Jakarta, dan Banda Aceh, menemui dan berdiskusi dengan berbagai narasumber. Heru Hendratmoko dari KBR merupakan satu-satunya peserta dari Indonesia. Berikut sebagian laporannya.
“Tak ada masalah soal toleransi di Palestina,” kata Khaldoun Barghouti, wartawan senior harian Alhayat Aljadida yang terbit di Al-bireh, Ramallah, Palestina. Hawa di kawasan Newbury Street, Boston, petang itu cukup nyaman. Di kiri-kanan jalan, resto dan toko-toko barang bermerek ramai dikunjungi orang.
Kami berbincang tentang banyak hal sembari mencari tempat makan yang menyediakan menu halal. Khaldoun adalah seorang Muslim yang baik. Pada banyak kesempatan, ia selalu berusaha untuk bisa menunaikan sholat lima waktu. Ia juga seorang yang punya selera humor baik. Dan tak segan menertawakan kebodohan diri sendiri, seperti ketika kami dua kali “tersesat” jauh di kota Honolulu, Hawaii, pada tengah malam karena tak tahu bus sudah melewati pemberhentian di mana kami seharusnya turun.
"We are like Dumb and Dumber," ujarnya tertawa merujuk film komedi yang dibintangi Jim Carrey dan Jeff Daniels.
Menurut Khaldoun, meskipun mayoritas penduduk Palestina beragama Muslim (98%), sedangkan Kristen hanya 1,3%, di samping minoritas Samaritan, pengaruh agama dalam politik domestik dan pembuatan kebijakan tidaklah besar.
Hukum dasar Negara Palestina juga menjamin perlindungan melawan segala diskriminasi atas nama ras, agama, jenis kelamin, warna kulit, pandangan politik dan disabilitas, selain menjamin kebebasan warganya dalam melaksanakan ibadah mereka masing-masing.
Harmoni kehidupan beragama ini merupakan warisan tradisi ratusan tahun. Pada setiap perayaan keagamaan, para pemeluk Islam dan Kristen sudah biasa saling mengirimkan ucapan selamat dan saling mengunjungi. Seluruh penjuru kota Ramallah di Tepi Barat pun sudah jamak dengan hiasan bernuansa Natal pada bulan Desember.
Pada tingkat politik juga ada semacam norma, walikota Ramallah sebaiknya dijabat seorang Kristen. Pada masa lalu, warga Kristen memang dominan di kota ini. Tapi kini Islam sudah menjadi agama mayoritas. Toh norma untuk memilih pemimpin dari kelompok Kristen tetap dihormati.
“Bahkan pernah terjadi, ketika Hamas memenangi pilkada, mereka justru mencalonkan seorang perempuan Kristen sebagai walikota,” kata Khaldoun. Hamas adalah kelompok perlawanan Palestina yang sering dicap menganut garis keras. Sedangkan walikota yang dimaksud adalah bekas Walikota Ramallah, Janet Mikhael, yang berasal dari kelompok independen Ramallah for All. Begitu pula di pemerintahan Palestina. Menteri Pariwisata selalu seorang Kristen, dan biasanya berasal dari Bethlehem.
Mendengar cerita ayah dua anak ini, ingatan langsung mendarat di Jakarta. Senin (10/11) massa Front Pembela Islam (FPI) mendemo Plt Gubernur Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok. Mereka tak menginginkan Ahok menjadi gubernur DKI hanya karena Ahok bukan Muslim. Alasan yang sama sekali tak punya dasar hukum. Karena merasa terganggu, Ahok pun meminta pemerintah membubarkan kelompok yang acap bertindak onar ini.
FPI tampaknya memang perlu belajar untuk respek kepada mereka yang berbeda, termasuk ke Palestina.
Baca juga Wartawan Palestina: Saya Kira Indonesia Itu Seperti Saudi Arabia