KBR68H, Jakarta – Para aktivis Hak Asasi Manusia (HAM) di London, Inggris Kamis (3/4) hari ini mengadakan aksi pembebasan bagi para tahanan politik (tapol) di Papua. Aksi dilakukan dalam sebuah demonstrasi damai di luar Kedutaan Besar Indonesia di London, Inggris.
Para peserta aksi meminta partai politik dan kandidat Presiden Indonesia untuk mendukung pemenuhan hak berdemokrasi di Papua dalam menghadapi Pemilu 9 April 2014
Aksi ini menyusul kejadian yang membuat para aktivis prihatin, yaitu Kamis (3/4) hari ini di Papua para polisi melepaskan tembakan kepada peserta aksi damai yang meminta pemebebasan terhadap tahanan politik Papua.
Polisi juga menangkap dua peserta aksi Laporan yang diterima para peserta aksi mengindikasikan bahwa 2 orang yang ditahan di Polresta Jayapura mengalami penyiksaan dan tidak diperbolehkan menemui pengacara hukum mereka.
Dalam orasinya mantan tahanan politik Burma, Ko Aung menyatakan keprihatinannya persoalan HAM di Papua.
“Saya menghabiskan enam tahun di penjara untuk menyerukan perlawanan atas ketidakadilan di Burma. Sekarang saya berdiri di sini untuk memberikan solidaritas kepada kawan-kawan di Papua yang mengalami hal yang sama.”
Ia juga menyatakan bahwa meskipun kepedulian internasional tentang situasi politik dan HAM di Indonesia telah meluas, namun partai politik di Indonesia tetap tidak memiliki agenda yang ditawarkan untuk situasi damai di Papua. Beberapa peserta aksi menantang para kandidat Presiden untuk memberikan perhatian dan menjelaskan kebijakan mereka terhadap Papua.
Dalam release yang dikirimkan hari ini LSM TAPOL, sebuah lembaga di Inggris yang aktif melakukan pembelaan terhadap para korban HAM di Indonesia menyatakan bahwa terdapat 537 peristiwa penangkapan politik di Papua pada tahun 2013.
Kasus yang dilaporkan berupa penyiksaan dan perlakukan buruk dalam tahanan berjumlah tiga kali lipat dibandingkan tahun 2012, Sementara kasus yang melibatkan penolakan akses kepada pengacara atau pengadilan yang tidak adil berjumlah dua kali lipat dibandingkan tahun 2012.
Hal ini menunjukkan minimnya ruang demokrasi di Papua dan momentum Pemilu merupakan momentum yang tidak relevan untuk masyarakat Papua.