Geeta bersama dua bayi perempuannya pernah diserang oleh suaminya.
Saat itu sang suami sedang mabuk dan marah karena mereka tidak punya anak laki-laki.
“Kami sedang tidur. Dia melemparkannya saat kami sedang tidur. Anak bungsu saya meninggal. Dia melemparkan zat asam kepada kami bertiga.”
Putri Geeta, Neetu yang kini berusia 23 tahun, selamat dari serangan itu. Tapi ia hampir buta, ia pun buta huruf.
Karena perbuatannya itu, suami Geeta hanya dipenjara selama dua bulan.
Ketika dia bebas, Geeta mengaku tidak punya pilihan selain menerima kembali sang suami yang suka melakukan kekerasan itu.
Sang suami sampai sekarang masih suka mabuk dan tidak bekerja.
“Tidak ada yang membantu kami. Mereka malah menertawakan dan mengolok-olok kami. Saya dulu sempat bekerja sebagai tukang sapu tapi kami tidak bisa hidup dari situ. Sekarang saya bergabung dengan orang-orang di sini untuk memulai hidup baru.”
Tapi sekarang dia punya harapan baru. Geeta menjadi manejer dapur di Kafe Sheroes ini.
“Ini adalah kesempatan baru. Sekarang kami bisa melanjutkan hidup.”
“Kami menyediakan beberapa meja sehingga para pengunjung bisa datang kemari untuk berbincang-bincang, tertawa atau membaca...sekarang mari kita ke atas...”
Hardika, seorang relawan di sana membawa saya berkeliling kafe.
Dinding kafe ditutupi gambar warna-warni dan dilengkapi dengan perabotan dari bambu yang trendi.
Ketika kafe dibuka awal bulan ini, Hardika mengaku banyak tawaran datang...
“Pakaian-pakaian ini dirancang oleh Rupa. Dia suka menjahit dan akan membuka butiknya sendiri di sini. Kami juga punya perpustakaan yang berisi buku-buku tentang feminisme dan pemberdayaan perempuan. Jadi masyarakat bisa datang kemari untuk membaca surat kabar atau minum kopi. Ya, saya berharap tempat ini bisa jadi tempat nongkrong terutama bagi kaum muda Agra.”
Kafe ini digagas lembaga kampanye Stop Acid Attack atau Hentikan Pelemparan Zat Asam yang berpusat di New Delhi.
Mereka mengumpulan dana lebih dari Rp300 juta lewat penggalanan dana dari masyarakat untuk menyewa dan merenovasi tempat ini.
Di salah satu meja ada Alok Dixit, bekas jurnalis yang mengagas kampanye ini.
“Tujuannya agar mereka bisa mandiri secara keuangan. Para korban itu dulu menutupi wajah mereka, merasa sangat malu serta tidak nyaman. Hanya karena wajah mereka jelek, kemampuan mereka diabaikan. Mereka tidak diberi pekerjaan. Di tempat ini, ada kesempatan untuk mengenal mereka. Jika mereka diberi kesempatan, mereka akan behasil. Jangan menilai dari wajah, nilailah dari orangnya.”
Selain membuat kafe ini, Alok dan kelompoknya mencoba untuk menghentikan pelemparan zat asam.
Dia memperkirakan ada sedikitnya 250 serangan setiap tahun di India. Sebagian besar korbannya adalah perempuan.
Alok mengatakan orang bisa dengan mudah membeli zat asam yang harganya murah di toko-toko.
Tahun lalu Mahkamah Agung mengeluarkan perintah yang membatasi penjualan zat asam. Tapi di lapangan, belum ada perubahan.
Alok menunjukkan satu video yang mereka buat, yang menunjukkan salah satu relawannya saat membeli zat asam di sebuah toko.
Dia lalu mengirimkan video itu ke pihak berwajib dan berharap mereka segera bertindak. Tapi ini langkah yang penuh tantangan.
“Musuh kita adalah pola pikir. Ini soal budaya bukan agama. Ada banyak Muslim dan orang Hindu yang melempar zat asam. Karena dalam budaya mereka, perempuan tidak diperlakukan seperti manusia. Perempuan dianggap properti. Ketika properti itu mulai melawan, dia harus diberi pelajaran. Para pria itu belajar dari orangtua mereka kalau dia harus mengontrol istrinya. Ini adalah realitas yang menyedihkan dalam masyarakat kita. Tapi pelan-pelan ini bisa berubah.”
Bibi dari Ritu menyewa dua pria untuk melemparkan zat asam pada Ritu.
Dia menjadi korban perebutan harta keluarga.
Para pria itu menyerang Ritu di siang hari di sebuah pasar yang ramai. Pelakunya melemparkan zat asam ke wajahnya dari motor yang melaju.
“Saya berteriak minta tolong tapi tidak ada yang membantu. Rasanya sangat sakit dan saya harus menjalani beberapa operasi.”
Sejak penyerangan itu, dia berhenti sekolah.
Penyerang dan 13 anggota komplotannya masih menjalani persidangan.
Sementara Ritu harus belajar hidup dengan wajah barunya.
Di Kafe Sheroes, dia mengurus perpustakaan, mengisinya dengan majalah dan buku-buku yang inspiratif agar pengunjung mau membacanya.
“Awalnya saya pikir apa yang akan masyarakat pikirkan kalau mereka melihat saya. Jadi saya sembunyikan wajah saya sampai saya bergabung dengan kampanye Hentikan Pelemparan Zat Asam. Sekarang saya berani tunjukkan wajah saya dan berpikir siapapun yang mau berkomentar silahkan saja. Saya senang di Kafe Sheroes ini. Saya ingin mengajak semua korban yang masih menyembunyikan wajahnya, untuk keluar dan berjuang untuk sebuah hidup baru. Hanya dengan itu ada perubahan.”
Geeta, Ritu, dan Alok, berharap bisa meraup laba dalam beberapa bulan ini sehingga para korban bisa mulai menerima gaji.
Dan jika mereka berhasil, mereka berencana membuka lebih banyak tempat nongkrong di seluruh India. Ini akan menjadi tempat di mana para korban pelemparan zat asam bisa menunjukkan kalau mereka berharga, bukannya malah menyembunyikan diri.
Kafe 'Sheroes': Tempat Korban Zat Asam Tidak Perlu Bersembunyi
Para perempuan korban pelemparan zat sama kerap menarik diri dari pergaulan.

India, Kafe Sheroes, serangan zat asam, perempuan, Aletta Andre
Kirim pesan ke kami
WhatsappRecent KBR Prime Podcast
Kabar Baru Jam 7
Strategi Perempuan Pengemudi Ojol Mengatasi Cuaca Ekstrem (Bag.4)
Arab Saudi Bangun Taman Hiburan Bertema Minyak di Tengah Laut
Menguji Gagasan Pangan Cawapres
Mahfud MD akan Mundur dari Menkopolhukam, Jokowi: Saya Sangat Hargai