Di Nepal, secangkir kopi dijual dengan harga sekitar 10 ribu rupiah. Itu adalah jumlah yang sama yang diminta Uttam Sanjel kepada murid-muridnya untuk pendidikan yang berkualitas, dari TK sampai SMA.
Lebih dari dua ribu anak dari keluarga miskin belajar di Sekolah Samata, yang berarti ‘sama rata untuk semua’. Para murid yang mengenakan baju hangat warna biru berbaris rapi. Mereka mengangkat tangan dan berbaris bersama, lalu bernyanyi. Seorang laki-laki berdiri di tengah memberikan komando.
Dia adalah Uttam Sanjel, pendiri Sekolah Samata. Samata artinya ‘sama rata untuk semua’.
“Ini adalah kepuasan saya, ini sebuah pencapaian. Setiap kali saya memimpin pertemuan di sekolah, saya merasa anak-anak mendengarkan saya dengan hati mereka. Saya melihat negara saya di sekolah saya. Anda bisa bertemu beragam anak-anak di sini, dari semua tempat, semua kasta dan etnis di sekolah saya. Satu hal yang sama adalah mereka berasal dari keluarga miskin.”
Di Nepal, banyak orangtua yang enggan mengirimkan anak mereka ke sekolah publik milik negara karena kualitas pendidikannya buruk. Dan sekolah swasta sangatlah mahal, tak terjangkau bagi kaum miskin.
“Ketika pendidikan itu mahal, anak-anak ada di bawah tekanan. Kalau mereka tak bisa bayar uang sekolah tepat waktu, mereka bakal diteriaki atau dipermalukan guru. Di rumah, orangtua juga memberikan tekanan. Mereka bakal meneriaki anak mereka sambil berkata,”Saya sudah habiskan banyak uang untukmu.” Saya ingin mengakhiri tekanan seperti ini untuk anak-anak. Karena itu Anda bakal melihat semua murid saya bahagia.”
Sekolah Samata adalah sekolah swasta alternatif untuk kaum miskin. Sekolah swasta di Nepal menarik biaya lebih 150 ribu rupiah per bulan. Tapi di Sekolah Samata, hanya sekitar 10 ribu rupiah. Sebuah ruangan bambu dipenuhi lebih 100 anak yang belajar kata-kata dalam bahasa Inggris.
Murid tahun kedelapan Karuna Tamang salah satunya. Dia sangat senang bisa sekolah.
“Saya suka melukis dan membaca buku. Karena itu saya terus belajar melukis. Buku adalah kesukaan saya. Saya belajar banyak hal dari buku. Saya ingin punya perpustakaan yang besar di rumah. Nantinya saya ingin bisa membuat perpustakaan pribadi, dengan banyak buku di dalamnya, sehingga saya bisa selalu baca buku kapan saja saya mau.”
Saatnya pulang, dan Karuna berjalan menuju rumah. Setelah menyeberangi jalan utama dan menyusuri gang kecil, dia masuk ke sebuah ruangan kecil tanpa jendela.
Inilah rumah Karuna, bersama kedua orangtua dan adik perempuannya. Ruangan ini kecil, tak sampai setengah meter lebarnya. Kepala saya bisa menyentuh langit-langit rumah dan saya tak bisa berdiri tegak. Di sini ada satu tempat tidur, satu lemari, satu kompor gas... dan tak ada buku.
Ibunya, Anita, ada di pojok ruangan, bekerja di mesin penenun karpet.
“Ketika saya masih kecil, orangtua saya berkata, mengirimkan anak perempuan ke sekolah itu sama saja dengan melukis dinding orang lain. Percuma. Hanya anak laki-laki yang pergi sekolah. Sekarang saya sangat menyesal karena tak pernah belajar menulis atau membaca. Di rumah sakit, saya tak bisa menemukan pintu atau dokter yang tepat. Kalau di luar rumah, saya tak bisa baca penanda transportasi atau plang nama tempat. Saya harus minta bantuan orang untuk membacakannya untuk saya. Sangat menyiksa kalau tak bisa membaca atau menulis.”
Anita bersimbah air mata. Suami Anita adalah seorang pekerja bangunan dengan pendapatan 600 ribu sebulan. Sekitar 150 ribu di antaranya dipakai untuk membayar uang sewa ruangan kecil ini tiap bulan. Tapi dia bisa mengirim kedua anaknya sekolah.
“Sekarang hidup lebih mudah. Saya tak harus panggil orang lain untuk membacakan sesuatu. Saya bisa bertanya pada anak saya. Dia bisa membacakan formulir rumah sakit, kwitansi kesehatan. Kami berhasil menyekolahkan mereka. Uang sekolahnya tak terlalu mahal. Kadang memang berat, tapi kami masih bisa membayarnya. Saya merasa sangat yakin dengan masa depan mereka. Anak-anak perempuan saya bakal bisa mandiri. Mereka tak harus mengalami kesulitan yang sama dengan saya.”
Untuk banyak keluarga seperti keluarga Anita, sekolah 10 ribu rupiah ini adalah harapan mereka satu-satunya. Pendiri dari sekolah berbiaya rendah ini Uttam menjelaskan bagaimana dia mendapatkan ide untuk mendirikan sekolah ini, ketimbang memberikan uang atau baju kepada anak-anak miskin.
“Ada yang tak punya ibu, ada yang tak punya bapak, ada yang bapak-ibunya harus bekerja, jadi mereka turun ke jalanan. Saya bukan orang kaya. Kadang saya berikan mereka baju. Tapi setelah dua bulan, mereka bakal tak punya baju lagi. Kalau saya beri makan mereka selama 2-3 hari, hari berikutnya mereka bakal kelaparan. Jadi apa yang bisa saya berikan supaya mereka mandiri? Saya pikir, pendidikan.”
Sekolah ini sudah 10 tahun berjalan. Ceritakan tentang sekolah pertama. Bagaimana Anda dulu membangunnya? Dari mana Anda dapat uang?
“Waktu itu saya tak punya uang. Saya membahas soal ini dengan orangtua saya. Ini adalah misi saya, jadi bantulah dengan sedikit uang. Orangtua saya tak senang saat itu, karena yang saya sampaikan itu hal aneh. Tak ada yang percaya pada saya. Lalu ayah saya memberikan sejumlah uang. Di sekitar tempat saya, banyak orang yang punya bambu. Saya pergi ke sana untuk mengambil bambu dan mulai membangun sekolah.”
Ayah Uttam memberikan 3 juta rupiah untuk membangun sekolah berbiaya murah pertamanya dari bambu. Sekolah dibuka dengan 800 murid. Sekarang Uttam menjalankan 16 sekolah yang terbuat dari bambu di penjuru Nepal dengan lebih dari 2 ribu murid. Biaya operasional tahunan lebih dari 1 miliar rupiah datang dari sumbangan pribadi.
“Dunia ini penuh dengan orang berhati baik. Saya mendapatkan bantuan dari sumbangan pribadi. Di Nepal, juga banyak negara lainnya, ada sekitar dua ribu orang... mereka seperti anggota. Ada yang berulang tahun, lalu merayakannya di sini. Jumlah uang yang biasanya mereka habiskan untuk perayaan ulang tahun, dihitung, lantas diberikan seluruhnya kepada saya. Ulang tahun ayah, perayaan pernikahan, saya mendapat sumbangan seperti ini. Uang sekolah di tempat saya hanya 100 rupee. Uang sekolah satu tahun hanya sekitar 120 ribu rupiah. Beberapa orang Eropa berkata,”Satu Euro atau sekitar 12 ribu rupiah itu satu cangkir teh!” Ini sekolah dari bambu dengan uang sekolah seharga secangkir teh.”
Tapi hidup tak selalu mudah. Pengeluaran terbesarnya adalah untuk gaji para guru.
“Kadang saya harus bersembunyi dalam toilet. Para guru dan pemilik tanah meminta uang terutama saat ada acara perayaan. Dan orangtua murid tak selalu membayar uang sekolah tepat waktu. Apa yang bisa saya lakukan? Saya pernah dipukuli. Juga pernah diludahi. Mereka pernah melempar batu kepada saya, merobek baju saya. Kalau saya ingat itu, saya merasa seperti tikus mati. Tapi sekarang saya sudah terbiasa. Sekarang saya belajar untuk menertawakan masalah, karena saya tahu yang saya lakukan ini untuk anak-anak dan untuk masa depan yang lebih baik. Saya pasti akan mencapai ke sana.”
Dan dia melakukan pekerjaannya dengan sangat baik. Semua murid dari Sekolah Samata lulus ujian akhir dengan angka rata-rata 80.
Sekolah Samata Penyedia Pendidikan Murah di Nepal
Samata artinya

INDONESIA
Jumat, 28 Nov 2014 17:19 WIB

Nepal, Samata, Uttam Sanjel, pendidikan, Rajan Parajuli
Kirim pesan ke kami
WhatsappRecent KBR Prime Podcast
Kabar Baru Jam 7
Strategi Perempuan Pengemudi Ojol Mengatasi Cuaca Ekstrem (Bag.4)
Arab Saudi Bangun Taman Hiburan Bertema Minyak di Tengah Laut
Menguji Gagasan Pangan Cawapres
Mahfud MD akan Mundur dari Menkopolhukam, Jokowi: Saya Sangat Hargai