Saat Anda berjalan-jalan melalui distrik Hong Kong Tengah, melewati barikade berhiaskan pita kuning yang tak terhitung jumlahnya, Anda masih bisa mendengar suara-suara dari aksi yang dikenal luas sebagai “Gerakan Payung”.
Jalan raya empat jalur ini sudah ditutup selama 10 hari. Tempat ini berubah menjadi lapangan tempat gerakan perlawanan sipil Hong Kong yang terbesar berlangsung.
Tapi hari ini suasananya tenang pasca peristiwa akhir September lalu. Saat itu polisi yang tidak berhasil membubar pengunjuk rasa dari jalanan menggunakan gas air mata dan semprotan merica untuk memukul mundul para demonstran.
Namun bagi mahasiswa bernama Harry Chan, aksi protes ini menandai sebuah perubahan di Hong Kong.
“Kalau dulu, orang hanya berujuk rasa... ketika polisi membubarkannya, mereka akan pergi. Tapi kali ini berbeda. Orang tidak akan memberikan haknya demi apapun.”
Chan adalah pendukung Federasi Mahasiswa Hong Kong. Kelompok ini bersama dengan kelompok aktivis SMA Scholarism dan Occupy Central, menuntut Beijing menarik kembali keputusan mereka Agustus. Pemerintah Beijing memutuskan untuk melakukan seleksi awal kandidat untuk pemilihan Pimpinan Eksekutif Hong Kong tahun 2017.
Tapi seiring berjalannya unjuk rasa, tuntutan kelompok itu berkembang. Mereka juga menuntut Pimpinan Eksekutif Hong Kong CY Leung mengundurkan diri.
Bagi Jack Ng yang berusia 26 tahun, Pimpinan Eksekutif Hong Kong itu telah kehilangan dukungan dari warga kota.
“Menurut saya alasan utamanya adalah rasa frustrasi akibat perbuatan polisi kepada para pelajar. Terlalu banyak kekuatan dan kekerasan.”
Kamis lalu, Sekretaris Pimpinan Hong Kong mengumumkan kalau dia akan bertemu dengan para pemimpin dari Federasi mahasiswa Hong Kong.
Tapi dalam waktu 24 jam, terjadi aksi kekerasan terhadap para demonstran di kawasan Mong Kok. Kawasan itu dekat dengan toko-toko mewah yang populer di kalangan turis Tiongkok. Akibat aksi itu, para pemimpin mahasiswa membatalkan pertemuan itu.
Mereka mengatakan pemerintah tidak melindungi hak-hak mereka untuk berujuk rasa secara damai.
Saat ini, jalan-jalan lebih sepi. Kerumunan, yang pernah berjumlah 100 ribu orang telah menyusut menjadi sekitar seribu. Di antara tenda yang tak terhitung jumlahnya, warga yang penasaran dan para wisatawan berjalan-jalan di jalanan Hong Kong yang bebas kendaraan itu.
Mereka mengambil foto, mendengarkan pidato dadakan, atau meninggalkan pesan di “Dinding Lennon” yang terus bertambah luas. Dinding itu ditutupi kertas notes berwarna cerah yang berisi pesan dukungan.
Karena alasan-alasan ini, mahasiswa berusia 18 tahun, Matthew Mak, percaya kota itu telah berubah.
“Menurut saya, aksi ini akan sukses ... karena kita semua harus berharap untuk menciptakan perubahan.”
Meski begitu, setiap kali para pengunjuk rasa diingatkan akan kekuatan yang terletak tak jauh dari Hong Kong.
Tak jauh dari posisi pengunjuk rasa, ada markas Tentara Pembebasan Rakyat Tiongkok di Hong Kong. Beberapa kali sehari, para demonstran bisa mendengar militer berlatihan dan bernyanyi bersama meski keberadaan mereka tak terlihat.
Meski kekhawatiran muncul, demonstran seperti Chan berjanji akan terus berjuang terus sampai perubahan terwujud.
“Alasan kami tinggal di sini karena kami ingin demokrasi yang nyata. Dan kami bersedia untuk mengorbankan sesuatu sebagai imbalannya. Menurut saya yang jadi pemenang adalah yang bisa bertahan.”
Mahasiswa dan Aktivis Pro-Demokrasi Hong Kong Menolak Pulang
Mereka bertekad tetap di sana sampai ada jaminan reformasi politik.

Hong Kong, unjuk rasa, Gerakan Payung, Demokrasi, Adam McCauley
Kirim pesan ke kami
WhatsappRecent KBR Prime Podcast
Kabar Baru Jam 7
Strategi Perempuan Pengemudi Ojol Mengatasi Cuaca Ekstrem (Bag.4)
Arab Saudi Bangun Taman Hiburan Bertema Minyak di Tengah Laut
Menguji Gagasan Pangan Cawapres
Mahfud MD akan Mundur dari Menkopolhukam, Jokowi: Saya Sangat Hargai