Moe Thiha bukanlah pemuka agama kebanyakan.
Dia adalah perantara antara roh Nat dan pemujanya – suatu kepercayaan animisme yang kerap diasosiasikan dengan agama Buddha.
Si perantara memakai pakaian perempuan dan memimpin upacara penuh dengan tarian, musik dan minuman.
“Saya menyukai ini karena menghasilkan uang. Saya merasa senang harus berpakaian dan menari seperti Nat. Saya senang menari dan saya dibayar untuk menari.”
Nat adalah kepercayaan tradisional di Burma. Kepercayaan ini sudah lama dilekatkan dengan komunitas gay dan transgender karena kostum feminin yang dipakai.
Perayaan roh Nat terbesar di negeri itu, Festival Taung Pyome digelar setiap tahun. Baru-baru ini festival berlangsung di Mandalay.
Ini adalah kesempatan langka bagi komunitas LGBT untuk bebas berbusana dan mengekspresikan diri mereka.
U Tin Maung kepala perantara roh Nat dan pemujanya.
“Kaum gay dari berbagai penjuru kota berkumpul dalam perayaan ini. Mereka merasa terharu karena dalam perayaan ini mereka tidak perlu menyembunyikan diri. Mereka bisa bersenang-senang di sini.”
Homoseksualitas adalah perbuatan melanggar hukum di Burma.
Meski hukum jarang ditegakkan, namun aturan ini seringkali dipakai untuk mendiskriminasi atau mempermalukan kelompok LGBT.
Alhasil, bekerja sebagai perantara Nat dianggap sebagai pilihan karir yang tepat, kata Moe Thiha.
“Banyak gay atau transgender yang bekerja sebagai Nat Kadaw. Dengan begitu, mereka bisa memakai riasan wajah. Mereka enggan mengerjakan pekerjaan laki-laki karena mereka merasa dan berpikir seperti layaknya perempuan. Jadi tak jarang dari mereka bekerja sebagai penata rias. Dan banyak perempuan lebih memilih penata rias gay atau transgender ketimbang perempuan.”
Thein Thein hidup sebagai seorang perempuan.
Dia tinggal bersama kekasihnya seperti pasangan suami-istri.
Tapi mereka merahasiakan kehidupan mereka dari masyarakat.
“Hanya di perayaan inilah saya merasa bebas menjadi diri saya sendiri. Pemerintah masih belum mau mengakui kami sebagai pasangan suami istri. Kami hidup dengan saling memahami satu sama lain.”
Namun festival ini ternyata tidak hanya menarik bagi pasangan gay.
Banyak lajang yang datang ke sini untuk seks, baik itu dengan homoseksual atau dengan waria, tak peduli apa orientasi seksual mereka.
Di festival ini, minuman alkohol dihidangkan dengan bebas. Begitu malam tiba, festival ini dikenal dengan seks bebasnya.
Hla Myat Tun adalah panitia dari acara Colours Rainbow.
“Banyak orang yang curi kesempatan dalam perayaan ini hanya untuk bersenang-senang. Karena itulah masyarakat memandang komunitas LGBT sebelah mata.”
Di Burma, tidak ada perbedaan istilah gay dan waria. Dan kedua istilah ini dipakai untuk menggambarkan kelompok LGBT dengan nada menghina.
Moe Thiha menjadi Nat Kadaw karena gemar menari dan bersolek. Tapi ia masih belum yakin apa orientasi seksualnya.
“Bagaimana menjelaskannya yah, saya agak gay. Saya merasa dan berpikir seperti layaknya perempuan. Ada banyak laki-laki yang senasib dengan saya. Saya sendiri mencintai seni. Mungkin saya adalah gay yang cinta dan ingin berkarya dalam seni.”
Adanya festival ini artinya sekali setahun, tudingan terhadap kelompok LGBT dikesampingkan.
Dan semua orang, apa pun orientasi seksualnya, bisa bertindak bebas dan terbuka.
Tapi bahkan di sini sekalipun, pemahaman terhadap kelompok LGBT masih sangat terbatas.
Festival Nat, Perayaan bagi Komunitas Gay Burma
Festival Nat kerap dilekatkan dengan kelompok LGBT di Burma karena ini adalah kesempatan langka bagi mereka untuk berkumpul secara terbuka.

INDONESIA
Sabtu, 21 Sep 2013 16:12 WIB

Burma, perayaan pemujaan Nat, LGBT, DVB
Kirim pesan ke kami
WhatsappRecent KBR Prime Podcast
Kabar Baru Jam 7
Strategi Perempuan Pengemudi Ojol Mengatasi Cuaca Ekstrem (Bag.4)
Arab Saudi Bangun Taman Hiburan Bertema Minyak di Tengah Laut
Menguji Gagasan Pangan Cawapres
Mahfud MD akan Mundur dari Menkopolhukam, Jokowi: Saya Sangat Hargai