Sebentar lagi bulan Ramadhan tiba… bulan pengampunan dosa bagi kaum Muslim.
Tapi pria yang berusia 50 tahun ini tidak bisa memaafkan laki-laki yang memerkosa putrinya.
“Jika putri saya terbunuh dalam kecelakaan, saya bisa memaafkan orang penyebab kecelakaan tersebut. Tapi putri saya tidak bersalah. Saya tidak dapat memaafkan orang yang tidak berprikemanusiaan tersebut. Tidak akan pernah.”
Putrinya yang berumur 10 tahun diperkosa oleh pamannya sendiri.
Tubuhnya ditemukan di pantai Karachi dengan cedera berat di kepala.
Polisi menangkap sang paman dan hasil DNA membuktikan bahwa dia lah pelakunya.
Kasus tersebut dibawa ke pengadilan dan keluarga berharap segera ada keputusan.
Tapi aktivis hak asasi perempuan Rukhsana Siddiqui, yang membawa kasus ini ke pengadilan mengatakan, kecil kemungkinan korban mendapatkan keadilan.
“Gadis kecil tersebut telah meninggal. Jadi tes DNA adalah satu-satunya bukti kuat untuk menjerat terdakwa. Tapi sekarang, pengadilan tidak dapat mempertimbangkan DNA sebagai bukti utama karena keputusan Majelis Islam Pakistan Jika hal tersebut terjadi, ada kemungkinan sang pemerkosa sekaligus pembunuh dapat lolos dari jerat hukum.”
Majelis Islam Pakistan menyatakan, tes DNA hanya dapat digunakan sebagai bukti pendukung.
Majelis ini adalah lembaga konstitusional yang bertugas sebagai dewan penasihat pemerintah Pakistan untuk isu-isu islam.
Mereka mengacu pada hukum Syariah yang menyatakan kalau bukti utama kasus pemerkosaan harus berupa kesaksian dari empat saksi pria atas kejadian tersebut.
Anggota senior majelis, Hafiz Mohammad Tahir Mahmood Ashrafi, menjelaskan keputusan ini.
“Dokter mempunyai tiga pendapat berbeda tentang DNA. Ada yang mengatakan hasil tes tersebut 98 persen akurat, lainnya yang mengatakan 80 persen akurat dan sisanya mengatakan 75 persen akurat. Di masa lampau, tersangka dapat ditahan berdasarkan hasil tes DNA dan penyelidikan tetap dilakukan tapi tidak digunakan sebagai alternatif untuk saksi. Jika kasus yang diduga pemerkosaan paksa itu ternyata adalah kasus perzinahan, bagaimana mungkin kita menghukum terdakwa dengan hukuman rajam sampai mati?”
Tapi selama ini polisi menggunakan tes DNA sebagai bukti utama dalam kasus-kasus pemerkosaan.
Muhammad Waseem Iqbal adalah seorang pengacara.
“Dalam kasus pemerkosaan, test DNA, hasil visum dan kesaksian dari sang korban cukup untuk mendakwa seseorang. Ini adalah hukum yang berlaku di seluruh dunia.
Banyak kelompok hak asasi manusia dan hak asasi perempuan yang geram akan keputusan majelis tersebut.
Mehnaz Rehman dari Aurat Foundation, sebuah organisasi hak asasi perempuan yang berbasis di Islamabad.
Kata dia, ini hanya akan menambah beban para korban kasus perkosaan…yang sudah menghadapi tekanan diskriminasi dari masyarakat Pakistan.
“Kami melihat pengacara dari tersangka atau pelaku memberikan sejumlah pertanyaan kepada sang korban, yang kondisinya sangat rapuh, sehingga sangat sulit bagi mereka untuk menjawabnya. Kami menyebut itu sebagai pemerkosaan secara emosional.”
Mehnaz mengatakan, keputusan majelis sangat tidak masuk diakal.
“Ilmu pengetahuan dan prosedur hukum medis dapat membantu kita. Sangat masuk akal bila tidak akan ada orang yang melakukan tindak kejahatan itu di hadapan empat orang pria. Dan siapa yang akan melakukan tindak kejahatan saat empat pria tersebut menyaksikan Anda?”
Tahun Lalu, Mahkamah Agung Pakistan menyatakan, tes DNA adalah bukti utama yang digunakan dalam kasus pemerkosaan.
Namun setelah putusan majelis, bola ada di tangan Parlamen: akan ubah aturan hukum yang ada atau tidak.
Aktivis HAM mendesak pemerintah untuk menolak rekomendasi majelis.
Di provinsi Sindh, Parlemen setempat memutuskan untuk tidak mengindahkan putusan majelis, ujar anggota Parlemen Sharmila Farooqui.
“Hasil tes DNA harusnya dijadikan bukti wajib dalam kasus pemerkosaan. Negara di seluruh penjuru dunia mulai beralih pada penyelidikan ilmiah dan forensik daripada bersandar pada bukti kesaksian.”
Bahkan ada yang bergerak lebih jauh... mempertanyakan peran Majelis Islam Pakistan.
Zohra Yousuf adalah Ketua Komisi Hak Asasi Manusia di Pakistan.
“Kami memiliki yang namanya Majelis Islam Pakistan. Keberadaan mereka perlu dipertanyakan karena ada Parlemen yang bertugas untuk mengatur. Konstitusi sudah mengatakan kalau hukum tidak bisa bertentangan dengan prinsip islam. Jadi badan tersebut tidak diperlukan. Di masa lalu, banyak kecaman atas badan tersebut yang dinilai sangat mundur dan anti-perempuan.”
Sampai ada keputusan dari pemerintah, maka keluarga korban pemerkosaan memiliki sedikit harapan untuk mendapatkan keadilan bagi korban...
Organisasi Islam di Pakistan Larang Penggunaan Tes DNA sebagai Bukti Utama Kasus Pemerkosa
Majelis Islam Pakistan mengatakan bahwa tes DNA tidak dapat dijadikan bukti utama padahal test DNA banyak digunakan sebagai bukti kasus pemerkosaan di seluruh dunia.

INDONESIA
Kamis, 01 Agus 2013 11:34 WIB

Pakistan, pemerkosaan, tes DNA, bukti, Naeem Sahoutara
Kirim pesan ke kami
WhatsappRecent KBR Prime Podcast
Kabar Baru Jam 7
Strategi Perempuan Pengemudi Ojol Mengatasi Cuaca Ekstrem (Bag.4)
Arab Saudi Bangun Taman Hiburan Bertema Minyak di Tengah Laut
Menguji Gagasan Pangan Cawapres
Mahfud MD akan Mundur dari Menkopolhukam, Jokowi: Saya Sangat Hargai