Bagikan:

Keluarga Rohingya Menghabiskan Ramadhan sebagai Pengungsi di Indonesia

Muslim di seluruh dunia akan merayakan Hari Raya Idul Fitri pekan depan...bersama keluarga dan sahabat. Tapi tahun ini masih merupakan Ramadhan yang berat bagi 18 orang anggota sebuah keluarga Rohingya.

INDONESIA

Sabtu, 03 Agus 2013 14:49 WIB

Keluarga Rohingya Menghabiskan Ramadhan sebagai Pengungsi di Indonesia

Burma, Keluarga Rohingya Indonesia, pencari suaka, KBR68H, YLBHI

Muslim di seluruh dunia akan merayakan Hari Raya Idul Fitri pekan depan...bersama keluarga dan sahabat.
 
Tapi tahun ini masih merupakan Ramadhan yang berat bagi 18 orang anggota sebuah keluarga Rohingya.
 
Sekarang mereka ada di Jakarta dalam perjalanan mendapatkan suaka dan hidup baru di Australia.

Muhammad Hanif adalah putra bungsu keluarga besar Rohingya ini, yang berjumlah 18 orang.

Mereka sementara ini tinggal di kantor Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) di Jakarta

Muhammad Hanif, 38 tahun, meninggalkan rumahnya di Burma saat berusia 3 tahun.

“Kami melarikan diri karena kami dikejar-kejar orang Buddha dan tentara menembaki kami. Tentara juga menyerang Muslim.”

Mereka melarikan diri ke Malaysia dan tinggal di sana selama 3 dekade.

Ia bekerja di proyek pembangunan dan berhasil mengumpulkan uang.

Selama tinggal di Malaysia, mereka berharap akan diakui oleh badan urusan pengungsi PBB sebagai pengungsi dan dikirim ke Australia ... tapi itu tidak terjadi.

Karena putus asa, mereka berusaha pergi ke Australia dengan kapal lewat Indonesia.

Di Pulau Sumatra, Hanif bertemu dengan beberapa orang calo.

“Mereka minta 15 juta rupiah per orang untuk membawa kami dari Sumatra ke Australia. Kami tidak mampu membayar segitu jadi kami hanya bayar 9 juta per orang. Kami sudah bayar mereka 130 juta. Hanya itu uang kami....tapi dia bilang akan tetap membantu kami. Kami percaya padanya karena dia kelihatan baik.”

Beberapa bulan lalu, para calo itu membawa Hanif dan keluarga ke Bogor, di pinggiran Jakarta.

Mereka tinggal di sebuah kamar penginapan tanpa tahu kapan akan berangkat ke Australia.

Lalu satu hari mereka dibawa ke Jakarta.

“Kami dibawa dengan mobil ke sebuah penginapan dekat bandara Soekarno Hatta. Kami semua, 18 orang dikurung dalam 1 kamar. Awalnya kami diberi makan secara teratur tapi itu tidak berlangsung lama.”

Mereka berada di kamar itu selama 2 bulan dengan persediaan makanan yang terbatas.

Saudara ipar Hanif, Muhammad Qosim, disiksa para calo, yang yakin keluarga itu masih punya uang.

“Saya dipukuli dan dipaksa memberi mereka uang. Tapi kami tidak punya apa-apa lagi. Kami sudah katakan itu berulang kali tapi mereka tidak mau percaya sehingga mereka memukuli kami. Ada sekitar 5 sampai 6 orang calo...saat itu ruangannya gelap tidak ada cahaya.”

Satu malam, beberapa petugas kebersihan membantu mereka melarikan diri dan membawa mereka ke kantor PBB urusan pengungsi. Lembaga itu kemudian memberi mereka kartu identitas pencari suaka resmi.

Dengan bantuan jurnalis lokal, mereka bisa menginap di kantor YLBHI , LSM yang memberikan bantuan hukum pada masyarakat kecil.

Julius Ibrani dari YLBHI.

“Nanti dulu kita bicara soal dia pengungsi segala macamnya, tetapi ini adalah manusia, yang dia punya kendala dalam menjalankan kehidupannya, dia kemudian terancam jiwa dan keselamatannya, dan ini tanggung jawab negara kita sebagai bagian dari percaturan dunia juga. Kita anggota PBB, kita meratifikasi konvenan internasional PBB, dan pengungsi Rohingya ini juga warga negara dunia, yang juga tercatat dalam PBB, sebagaimana tercatat dalam data yang sebagian ini baru kita berikan.”

Tapi tanpa uang dan pekerjaan, mereka kini hidup dari simpati orang lain.

“Mereka membawakan nasi dan lauk untuk kami. Saya tidak ingat nama pria itu tapi dia mengirimi kami makanan untuk sahur. Kami sangat berterima kasih... karena dia tidak menghina kami sebagai orang asing. Orang Indonesia baik, membantu kami seperti keluarga.”

Keponakannya, Nurma, 8 bulan menangis.

“Saya merasa sedih... ini ujian dari Tuhan untuk kami. Ini mungkin bukan yang paling berat tapi tetap saja saya merasa sedih. Saya malu pada orang-orang yang sudah membantu kami, memberi kami uang dan makanan...kami sangat menghargainya.”

Hanif ingin melupakan masa lalunya dan membangun hidup baru di Australia.

“Saya lebih baik mati di negara lain ketimbang kembali ke Burma. Saya tidak percaya pada janji atau jaminan untuk pulang ke kampung halaman. Saya lebih baik mati di sini ketimbang balik ke Burma.”

“Australia masih bersedia menampung kami dan ini adalah pilihan paling dekat dari sini. Kami punya 3 keluarga yang sudah menunggu di sana dan ibu teman saya juga sudah ada di sana.”


Kirim pesan ke kami

Whatsapp
Komentar

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!

Kabar Baru Jam 7

Strategi Perempuan Pengemudi Ojol Mengatasi Cuaca Ekstrem (Bag.4)

Arab Saudi Bangun Taman Hiburan Bertema Minyak di Tengah Laut

Menguji Gagasan Pangan Cawapres

Mahfud MD akan Mundur dari Menkopolhukam, Jokowi: Saya Sangat Hargai

Most Popular / Trending