Awal tahun ini, kelompok pemberontak Muslim di Thailand Selatan dan Pemerintah Thailand sepakat melakukan pembicaraan damai untuk mengakhiri konflik selama 9 tahun di sana.
Lebih dari 5000 orang tewas sejak konflik itu dimulai tahun 2004.
Tapi perjalanan menuju damai masih panjang....dan banyak yang menuduh media arus utama Thailand menggompori konflik itu.
Hama Baeluebae sedang mementaskan lagu Diker Hulu di Provinsi Yala di Thailand Selatan.
Ini adalah lagu tradisional yang sering didengar di daerah Selatan.
Lagu yang kebanyakan dinyanyikan pria ini liriknya dalam Bahasa Melayu.
“Kami menyanyikannya untuk menghibur masyarakat, untuk menenangkan mereka dan menyebarkan perdamaian lewat kata-kata dan irama lagu itu.”
Lirik lagu itu bercerita tentang kehidupan masyarakat sehari-hari dan harapan mereka akan datangnya perdamaian.
Tapi perdamaian sudah lama hilang di daerah itu sejak 2004....
Kelompok masyarakat Muslim Melayu merasa didiskriminasi dan dieksploitasi masyarakat Thailand yang mayoritas beragama Buddha. Sejak itu mereka mulai berjuang untuk mendapatkan otonomi yang lebih besar.
Sejak saat itu, tembakan dari mobil dan bom terjadi setiap hari dengan korban sedikitnya 5000 orang.
Aktivis Angkana Neelapaijit kehilangan suaminya yang diculik karena mengadvokasi para pria Muslim yang dituduh menjadi pemberontak.
“Pemerintah tidak bisa membedakan mana yang gerakan pemberontak mana yang kejahatan biasa. Amnesty International mengatakan mereka menentang penghilangan paksa dan itu yang kami alami di daerah Selatan ini. Di sini ada aturan khusus yang membolehkan polisi menciduk siapa saja yang berbeda pandangan dengan pemerintah, bahkan bila mereka protes dengan damai. Pemerintah Thailand bisa melindungi orang-orang yang terlibat dalam pembicaraan damai tapi masyarakat biasa masih menghadapi hukuman yang berat.”
Deep South Watch adalah LSM lokal yang memonitor kekerasan yang terjadi sehari-hari di daerah Selatan dan perkembangan pembicaraan damai.
Srisompop Jitpiromsri adalah pendirinya.
“Kami tidak hanya fokus pada kekerasan yang masih terjadi tapi juga menyampaikan perkembangan perdamaian yang sedang berlangsung. Masyarakat butuh informasi semacam ini.”
LSM itu punya website bernama ‘Wartani’ yang populer di kalangan masyarakat Selatan.
Editornya Ismail Bin Muhammad Hayeewaeji mengatakan media mereka berbeda dengan media arus utama.
“Media dari luar provinsi menggambarkan kami seusai dengan pembacanya yang sebagian besar tinggal di luar Thailand Selatan. Mereka tidak melayani masyarakat lokal. Mereka bahkan tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi di sini. Kami orang dari Selatan dan Muslim. Saya tidak bermaksud menyinggung soal agama atau ras tapi di sini itu isu sensitif. Masyarakat hanya percaya pada orang-orang yang punya bahasa sama dengan mereka ketimbang media di daerah lain.”
Karena itulah mereka kerap diancam tentara.
“Ini bukan pekerjaan mudah. Kami punya akses yang mudah ke masyarakat tapi tidak ke kelompok lawan atau orang pemerintahan. Mereka tidak percaya pada kami.”
Mahama Sabri membantu Ismail di website itu.
Ia yakin media lokal seperti “Wartani” bisa mengisi kekosongan dan berpotensi membantu memperbaiki situasi. Tapi bukan itu yang dilihat pemerintah.
“Teman-teman yang membantu kami ditanyai atau diintrogasi tentara: mereka ditanya apa tujuan kami, siapa yang membantu kami, apakah kami mau memisahkan diri dari Thailand dan mengapa kami tidak berbicara dengan pemerintah dan malah fokus pada penderitaan masyarakat lokal.”
Munsor Sarea, 50 tahun, ikut berperan dalam proses perdamaian dengan acara radionya yang populer.
Acaranya bernama “The Window on Society” atau “Jendela Masyarakat”, sebuah program berbahasa Melayu yang mengangkat isu budaya, politik dan lainnya.
Acara ini disiarkan setiap hari ke penjuru provinsi di Selatan.
“Masalahnya adalah kredibilitas media Pemerintah. Terjadi penyangkalan besar-besaran atas fungsi-fungsi pemerintahan sehingga media pemerintah tidak begitu diterima. Konflik ini membuat masyarakat menolak media pemerintah. Mungkin mereka mendengarkan tapi tidak makan mempercayainya.”
Militer Thailand menempatkan lebih dari 50 ribu tentara di provinsi-provinsi yang ada di Selatan dengan alasan untuk melindungi rakyat.
Tentara ada dimana-mana, menjaga sekolah, kantor-kantor pemerintah dan ruang-ruang terbuka.
Tapi yang lebih dibutuhkan masyarakat adalah perdamaian ... dan ini butuh waktu untuk mewujudkannya.
Lagu berbahasa Melayu ini dinyayikan seorang penyair kondang .... lagu yang banyak dinyayikan anak muda di sini.
.. bercerita tentang perdamaian di Selatan ... harapan dari banyak orang...
Thailand Selatan: Lagu untuk Perdamaian
Awal tahun ini, kelompok pemberontak Muslim di Thailand Selatan dan Pemerintah Thailand sepakat melakukan pembicaraan damai untuk mengakhiri konflik selama 9 tahun di sana. Tapi perjalanan menuju damai masih panjang....dan banyak yang menuduh media arus u

INDONESIA
Sabtu, 29 Jun 2013 15:14 WIB

konflik di Thailand Selatan, media lokal Thailand Selatan
Kirim pesan ke kami
WhatsappRecent KBR Prime Podcast
Kabar Baru Jam 7
Strategi Perempuan Pengemudi Ojol Mengatasi Cuaca Ekstrem (Bag.4)
Arab Saudi Bangun Taman Hiburan Bertema Minyak di Tengah Laut
Menguji Gagasan Pangan Cawapres
Mahfud MD akan Mundur dari Menkopolhukam, Jokowi: Saya Sangat Hargai