Bagikan:

Baad: Anak Perempuan Sebagai Pembayar Kejahatan Kaum Lelaki

Di Afghanistan ada tradisi

INDONESIA

Sabtu, 29 Jun 2013 12:56 WIB

Author

Vitri Angreni

Baad: Anak Perempuan Sebagai Pembayar Kejahatan Kaum Lelaki

Afghan, tradisi baad, anak perempuan, kekerasan anak

Di Afghanistan ada tradisi ‘baad’, di mana kesalahan anggota keluarga laki-laki dibayar dengan menyerahkan anak perempuan. Manakala ada seorang pria membunuh, memperkosa, berselingkuh dengan istri orang, atau kawin lari, maka keluarga yang dirugikan akan meminta ganti rugi. Nah ganti ruginya adalah anak perempuan dari keluarga pelaku. Tujuannya agar tidak terjadi pertumpahan darah antara keluarga yang bertikai.

Para gadis ‘baad’ itu bisa diculik atau diserahkan dengan sukarela oleh keluarganya. Mereka dijadikan budak dan kerap disiksa, dipukuli, diperkosa hingga dibunuh. Ada juga yang kemudian dikawinkan secara paksa dengan anggota keluarga penerima ‘baad’. Bila ada anak yang lahir dari pernikahan itu, maka anak itu dianggap sebagai pengganti anggota keluarga korban yang pergi atau meninggal.

Tidak ada jumlah resmi berapa anak perempuan yang menjadi ‘baad’. Namun diperkirakan sedikitnya dua kasus terjadi setiap bulan di provinsi Timur Laut Afghanistan. Tapi lebih banyak lagi yang tidak terungkap. Kasus ini biasanya disembunyikan karena gadis-gadis yang diberikan sebagai ‘baad’ menjadi ganti rugi atas kejahatan seperti pembunuhan, perzinahan atau tindakan yang dilarang adat, seperti kawin lari.

Para orangtua terutama para ayah tidak menentang tradisi ‘baad’. Alasannya, karena kaum laki-laki melihat ini sebagai cara untuk meyelamatkan keluarga dari pertumpahan darah. Sementara kaum perempuan berbeda – ini hanya akan menyengsarakan hidup si anak perempuan.

Sejak 2009, Pemerintah Afghanistan melarang praktik ‘baad’. Pelakunya bisa dihukum 2 tahun penjara. Tapi hukuman baru berlaku bila korban yang menjadi ‘baad’ melapor ke polisi. Dan yang sering terjadi adalah banyak yang enggan memulai proses pidana terhadap keluarga mereka.

Tradisi ini sudah berlangsung sejak zaman pra-Islam. Dan menurut laporan PBB 2010, praktik ini masih terjadi sampai sekarang terutama di pedesaan yang mayoritas penduduknya etnis Pushtun di timur dan selatan Afghanistan. Masyarakat menerima luas praktik ini karena mereka tidak percaya pada lembaga peradilan pemerintah yang dianggap korup. 


(www.nytimes.com, www.refworld.org)

Kirim pesan ke kami

Whatsapp
Komentar

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!

Kabar Baru Jam 7

Strategi Perempuan Pengemudi Ojol Mengatasi Cuaca Ekstrem (Bag.4)

Arab Saudi Bangun Taman Hiburan Bertema Minyak di Tengah Laut

Menguji Gagasan Pangan Cawapres

Mahfud MD akan Mundur dari Menkopolhukam, Jokowi: Saya Sangat Hargai

Most Popular / Trending