Ini menandai upacara kelulusan di Sekolah Tugdaan Mangyan di Pulau Mindoro.
Ada 30 orang siswa yang lulus tahun ini.
Salah satunya Vilma Talibuka dari Suku Mangyan.
“Kami sangat senang di sini. Tidak seperti sekolah lain, kami di sini diperlakukan sama. Guru seperti teman kami. Hidup di sini juga sederhana. Kami boleh pakai baju adat masing-masing dan berbicara dalam bahasa daerah.”
Sekolah ini bertempat di lahan seluas dua hektar yang disumbangkan masyarakat di kaki gunung Halcon.
Dilengkapi kebun sayuran dan ruang belajar di luar ruangan...di bawah langit biru...
Pendiri sekolah itu Benjamin Abadiano.
“Meski orangtua sudah tidak punya anak yang bersekolah di Tugdaan, mereka tetap membantu dengan cara yang berbeda. Meski anak-anak mereka sudah kuliah, mereka tetap punya waktu membantu di kebun sekolah. Mereka membantu sekolah dengan menyumbang tenaga. Selain itu, para lulusan juga ikut mengajar di Tugdaan dan mengerjakan pekerjaan administrasi. Tugdaan sepenuhnya dikelola oleh masyarakat Mangyan.”
Tugdaan adalah sekolah khusus bagi masyarakat Mangyan.
Di sini, anak muda suku itu diajarkan soal budaya kuno dan hak mereka di zaman modern.
Dan setelah 25 tahun, sekolah itu sudah berkembang pesat.
Sekarang, sekolah itu punya program pengembangan anak usia dini sebelum mereka masuk sekolah dasar negeri.
Sekolah Tugdaan juga mendapat penghargaan dari Kementerian Pendidikan karena kurikulum yang menekankan pada pentingnya budaya suku.
Ramon Taywan termasuk 12 murid pertama yang masuk sekolah Tugdaan. Dan kini anak-anaknya juga bersekolah di sana.
Sekarang dia menjabat sebagai Presiden Asosiasi Orangtua-Guru.
“Kami membantu sekolah saat dibutuhkan. Cukup panjang jalan yang sudah kami tempuh. Kami memulai semuanya dari nol.”
Sekolah itu juga mengelola Pusat Warisan Hidup Mangyan.
Juga terdapat pusat pengolahan makanan dan produk lokal. Komoditas ini dijual ke seluruh negeri, bahkan sudah mencapai pasar ekspor.
Ailyn Lintawagin adalah koordinatornya.
“Kami membeli produk Mangyan dengan harga pantas. Produk kami bebas bahan kimia karena berasal dari tanah leluhur yang merupakan hidup kami.“
Orangtua berperan aktif dalam aktivitas sekolah.
Keenam anak Enrique Tupaz semuanya lulusan Tugdaan.
Sekarang dia melatih para siswa memproduksi kopi.
“Kami berperan aktif di sekolah karena ini adalah sekolah kami. Kami membantu membersihkan halaman lalu menanaminya. Kami berharap kaum muda akan terus berjuang demi tanah leluhur ini. Dan kami terus bermimpi bisa kuliah.”
Suster Vitricia Pascasio yang berusia 80 tahun sudah sejak awal membantu di sekolah ini.
Dia mengaku bangga dengan apa yang sudah mereka capai.
“Perayaan hari ini adalah perayaan penentuan bagi mereka untuk bisa melihat hak mereka atas tanah. Selain itu untuk memastikan kalau budaya mereka dihormati, melestarikannya untuk generasi mendatang, dan bisa melayani semua orang bukan hanya sukunya sendiri.”