Bagikan:

Aleta Ba

Aleta Ba

INDONESIA

Rabu, 08 Mei 2013 19:24 WIB

Aleta Ba

Indonesia, Aleta Baun, Goldman prize, lingkungan, Arin Swandari KBR68H

Aleta Ba’un tengah memasak  di dapur. Si kecil Ainina, anak bungsu Aleta dan beberapa temannya masuk ke dapur.

Beberapa tahun lalu hidupnya tak tenang. Aleta bersembunyi di hutan bersama ketiga anaknya – anak perempuannya masih berusia 2 bulan saat itu.

“Memang saat itu sebagai perempuan merasakan takut sedih, karena harus membawa anak ini, pikul anak ini, dibawa masuk keluar hutan. Saya rasa sedih, kapan bisa pulang bawa anak ini ke rumah.”

Aleta berdemo melawan beberapa perusahaan pertambangan yang menghancurkan tanah leluhurnya – dan ia menjadi sasaran mereka.

Pada 1996, dua perusahaan pertambangan marmer datang ke desanya dan mulai  mengeksplorasi Bukit  Naususu, gunung paling keramat di daerah itu.

Ini bukan kali pertama suku asal Aleta, suku Molo, berhadapan dengan beberapa perusahaan pertambangan – mereka sudah beroperasi dekat situ sejak awal tahun 1980-an. 

“Pada 1996-1999 tidak ada perkembangan apa-apa di sana, sebaliknya makin hancur, ini malah sebenarnya makin hancur, hutan habis, debit air berkurang, tanah longsor. Lalu tahun 1999 saya tergerak mengorganisir tokoh adat, untuk kami bisa lawan mereka. Kami beberapa orang bergerak sendiri, lalu bisa mengajak 12 kampung dengan jumlah orang 300 orang.”

Aleta memulai  satu gerakan lingkungan bersama tiga temannya, dan perlahan gerakan ini mendapatkan dukungan dari dewan adat.

Akhirnya ia berhasil meyakinkan 300 orang dari 12 desa untuk ikut gerakan itu.

Salah satunya adalah tokoh adat Wiliambae Satu.

”Semua masyarakat sini kami punya kebun di sekitar batu, tidak mau merusak alam. Kalau rusak mau tinggal di mana, mau makan apa?”

Bagi suku ini, alam sama seperti tubuh manusia – pepohonan seperti rambut dan kulit, air bagaikan darah, tanah seperti daging dan bebatuan adalah tulang.

Protes itu berlanjut selama beberapa tahun. 

Aleta menunjukkan kepada saya satu video ketika ia memimpin demo di depan kantor pemerintahan setempat.

“Saya ada di sini saya tidak mundur. Saya minta maaf pada Bupati, yang sudah banyak perbuatan. Lihat yang dilakukan masyarakat Molo, dari lokasi Nausu, Naitapan, Fatuliki. Siapa yang menyerahkan tanah, tidak ada.”

Tapi perusahan-perusahaan tambang itu bertindak. Para preman mendatangi desa, lalu mengancam para pendemo dan melempari rumah Aleta dengan batu.

Ia harus melarikan diri dari bersama keluarganya, dan tinggal di dalam hutan selama sekitar empat bulan. Tapi, ini tidak menghambat perjuangannya.

“Saat itu belum ada yang mendukung, kami harus jalan kaki, tidak punya makanan untuk di jalan atau pertemuan, kalau ada orang tua yang kasih ya kami makan. Ini ada lokasi Molo. Naitapan, Fatuliki, ini perjuangan berat, kami diusir, dikejar, saya sendiri pernah mau dibunuh, tapi tak jadi.” 

Perjuangannya membuatnya menjadi ikon sukunya dalam perlawanan terhadap tambang, mereka menyebutnya Mama Aleta.

Sang suami bernama Liftus Sanam sangat mendukungnya. Ia menjaga rumah mereka setiap malam dari kerumunan massa yang dikerahkan untuk mengintimidasi mereka.

“Mereka datang melempar rumah, saya lepaskan batu Mama Aleta juga.”
Q. Saat berjuang di mana?
“Marmer Fatuliki.”
Q. Tahu siapa yang melempar?
“Tidak karena gelap. Tiap malam selama tiga bulan saya berjaga di sekitar rumah, di luar. Lempar ya lempar, kalau mereka pukul ya pukul, hehehe.” 

Hendrik Rihi adalah salah satu sahabat Aleta.

“Saya dengan Mama Aleta ini diancam. Taruh parang di kepala. Saya pulang dari Soe, dihadang dari depan dan belakang. Mama Aleta lompat lari, dicari ketemu, lalu dikasih parang di kaki lalu mereka bilang Mama Aleta harus dibunuh malam ini. Saya bilang kalau Mama Aleta harus dibunuh.”

Pada 2006, Aleta mendirikan OAT atau Organisasi Adat Attaemamus, yang dalam bahasa setempat berarti ‘untuk melindungi dan memulihkan’.

Ratusan komunitas adat sudah ikut organisasi ini, siap melawan siapapun yang mengancam lingkungan, tempat tinggal mereka.

Unjuk rasa mereka unik – mereka tak sekadar berdemo.

Dalam salah satu unjuk rasa mereka yang paling sukses, mereka melakukan sesuatu yang mereka tahu betul: menenun.
 
Pada 2006, ratusan perempuan menduduki tempat penambangan marmer dan menenun kain tradisional mereka, sementara para lelaki berjaga-jaga.

Unjuk rasa ini berlangsung selama empat bulan, dan para penambang terpaksa berhenti bekerja.

Elisabeth Oematan masih mengandung ketika ikut unjuk rasa itu.

 “Iya sedang hamil itu saya tidak masuk rumah, pokoknya duduki tempat lokasi, kegiatan hanya menenun di lokasi, siang malam. Lalu aksi ke kantor Gubernur, untuk usaha agar bisa cabut izin pertambangan. Kami korban satu balok batu. Lama kelamaan sudah akan adu fisik antara yang pro dan kontra. Sudah senang mereka pergi tapi khawatir juga karena izin tambang belum dicabut. Tapi waktu itu kami katakan, cabut atau tidak surat izin asal  jangan kembali rambah batu. Batu kami yang jaga.”

Dua tahun lalu, ia berhasil mengusir empat perusahaan pertambangan, dan menutup empat tambang.

“Perjuangan kami satu tahun investor kami kalahkan, investor pulang, kami yang menang, soal izin kami belum menang karena belum dicabut. Yang penting investor tak bisa beraktivitas, soal izin karena berbelitnya negara mempertahankan izin itu.  Prinsip kami masyarakat adat, mau berbelit sampai kapan pun, kau tidak bisa raba-raba kami punya barang.”

Lima desa di daerah itu membuat satu peta komunal  untuk menunjukkan siapa pemilik tanah itu – untuk mengklaim hak-hak mereka dan menghindari berbagai perusahan menghancurkan tanah mereka lagi.

Menteri Lingkungan Hidup dan Menteri Daerah Tertinggal menyaksikan pengesahan peta tersebut.

Tapi tak semua hal-hal yang hancur bisa diperbaiki.

Lagu ini berjudul Batu Naitapan – yang bercerita soal gunung lain yang ditambang habis.

Perjuangan lainnya pun berlanjut.

Dalam satu pertemuan baru-baru ini, Aleta mendesak suku tetangga, Puabi Besipae, untuk membela tanah mereka.

Pemerintah setempat menebang hutan untuk mendirikan bisnis pertanian asing. Satu perusahaan minyak juga akan datang ke tempat itu.

“Kalau migas masuk saya akan tinggal. Karena begini, jangan sampai kita takut, kita bukan pendatang, lahir besar di sini, nenek moyang sudah kasih nama, kampung, dan tanah. Kita salah kalau kita tebas habis.”

Lodiana Kaba, 20 tahun, adalah salah satu anggota organisasi Aleta, dan ia sangat menggagumi Mama Aleta. 

“Perempuan pembawa damai, masalah apa saja Mama Aleta bisa selesaikan, konflik apa saja. Saya juga bermimpi, nanti bisa seperti Ibu Aleta, tapi itu baru mimpi saja.”




Kirim pesan ke kami

Whatsapp
Komentar

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!

Kabar Baru Jam 7

Strategi Perempuan Pengemudi Ojol Mengatasi Cuaca Ekstrem (Bag.4)

Arab Saudi Bangun Taman Hiburan Bertema Minyak di Tengah Laut

Menguji Gagasan Pangan Cawapres

Mahfud MD akan Mundur dari Menkopolhukam, Jokowi: Saya Sangat Hargai

Most Popular / Trending