Ini adalah catatan koresponden Asia Calling Sunil Neupane setelah kisahnya soal sekolah bagi pelajar HIV positif di Nepal mendapat tanggapan yang luar biasa.
Rencana awal saya adalah pergi ke daerah Barat Nepal untuk meliput kisah desa yang bebas ‘chau-padi’ – sebuah praktik yang mengasingkan perempuan Nepal ketika sedang menstruasi. Saat itulah saya untuk kali pertama mendengar soal sekolah bagi pengidap HIV.
Sekolah bernama 'Safalata HIV Sikshya Sadan' ini berjarak sekitar 700 kilometer dari Lembah Kathmandu. Di tempat itu, anak-anak dengan HIV positif mendapatkan tempat tinggal serta pendidikan.
Pendirinya, Raj Kumar Pun dan Uma Gurung, adalah dua anak muda yang punya komitmen kuat pada masa depan anak-anak. Awalnya mereka tidak punya dukungan dana. Raj Kumar harus menjual rumahnya dan Uma menjual tokonya sehingga mereka bisa membeli kebutuhan dasar anak-anak itu. Mereka menceritakan kesulitan keuangan yang mereka alami pada saya.
Saat berada di sekolah itu, saya bertemu seorang gadis kecil berusia 10 tahun. Dia menceritakan kisah hidupnya... dan itu membuat saya terdiam. Dengan air mata berlinang, gadis itu mengigat kembali pengalamannya. Saya tidak tahu harus bilang apa. Dia tidak berhenti menangis. Lalu saya juga berbincang dengan gadis lain yang bercerita kalau kedua orangtuanya meninggal karena AIDS dan bagaimana ia mengalami diskrimansi di desanya. Walau kakak perempuannya tinggal di Kathmandu tapi sang kakak mengacuhkannya. Sungguh berat mendengarkan kisah mereka.
Sampai sekarang, bila ingat kedua gadis itu, saya jadi sangat emosional. Sulit untuk mengendalikan pikiran saya dan menahan air mata. Tapi, di pertemuan berikutnya, mereka berdua tampak sangat bahagia.
Cerita saya kemudian disiarkan di Asia Calling dan saya menyiarkan versi bahasa Nepalnya di Ujyaalo 90 jaringan buletin berita utama. Di hari itu juga, saya menerima telepon dari sebuah serikat pekerja yang ingin mendukung organisasi itu.
Lalu saya membagikan cerita saya lewat TFC Nepal (http://www.tfcnepal.com/) – ini adalah kelompok Twitter ‘yang mendedikasikan dirinya untuk melayani masyarakat bawah-yang mengalami diskriminasi dan diabaikan untuk meningkatkan mata pencaharian dan pendidikan mereka'. Saya bertanya pada @ TFCNepal apakah mereka bisa membantu sekolah itu. Mereka dengan cepat merespon dan segera mengadakan rapat.
Mereka memutuskan untuk mengirim misi ke Safalata HIV Sikshya Sadan. Anggota TFC Nepal mengunjungi sekolah dan bertanya pada Raj Kumar Pun apa yang bisa mereka bantu. Dia mengatakan kalau sekolah tidak mampu membeli kebutuhan dasar anak-anak dan meminta TFC Nepal untuk membantu mereka membeli beras, minyak, dan tabung gas.
Kemudian TFC Nepal memulai sebuah kampanye (ini adalah kampanye ke-9 mereka) untuk mendukung sekolah HIV itu dan mereka mampu mengumpulkan hampir 6 juta rupiah. Dengan uang itu, TFC Nepal membeli minyak, beras, tabung gas dan sereal untuk persediaan 3-4 bulan. Mereka bahkan merayakan ulang tahun ke 2 sekolah dengan anak-anak itu.
Saya memutuskan untuk meneruskan kampanye ini sendiri. Saya mengunggah audio dan video cerita mereka versi bahasa Nepal di website Jaringan Ujyaalo 90. Makin banyak dukungan yang datang...dari dua anak muda Nepal, seorang fotografer muda, sebuah keluarga yang tinggal di Inggris, kelompok orang Nepal yang tinggal di Uni Emirat Arab,..dan ada banyak lagi. Total 40 juta rupiah dalam bentuk uang tunai dan barang-barang lain terkumpul untuk membantu sekolah itu.
Saya sudah 11 tahun jadi jurnalis dan telah meliput banyak isu dan menghasilkan banyak cerita. Tapi ini adalah cerita pertama saya yang mendapat respon yang sangat luar biasa.
Saya telah mengunjungi 'Safalata HIV Sikshya Sadan' lebih dari sepuluh kali sejak saya menyusun laporan saya. Juga banyak orang yang ingin mendukung anak-anak ini, ingin bertemu dengan saya sehingga saya harus terus kembali.
Sekarang saya berteman baik dengan anak-anak itu. Saya sangat berterima kasih atas kebersamaan yang saya lewati bersama mereka.