Pukul 5 pagi di pusat kota Rangoon. Para penjual sibuk mendistribusikan majalah dan jurnal.
Tapi ada satu yang tak kelihatan: majalah Hnyot – majalah pendidikan seks pertama di Burma.
“Majalah ini laku sekali. Saya hanya jual beberapa ekspemplar saja, tapi langsung cepat laku. Banyak orang yang datang dan ingin tahu soal majalah itu.”
Hnyot berarti ‘daya tarik’ dan ini adalah majalah pertama dengan tema seperti ini.
Edisi pertamanya dicetak setelah aturan yang mewajibkan sensor sebelum terbit dihapus Agustus lalu.
1000 eskemplar edisi pertama dan satu-satunya dicetak, dan langsung ludes.
Banyak yang terkejut ketika majalah ini diluncurkan, kata Ko Oo Swe, editor majalah tersebut.
“Sekarang ini kami diekspos dengan banyak hiburan dewasa seperti seks online, situs web seks dan hiburan untuk orang dewasa di berbagai hotel dan klub. Kami membutuhkan pendidikan seks supaya bisa mencegah penyebaran berbagai penyakit yang tidak diinginkan. Kami mencetak Hnyot untuk mendidik anak muda supaya tetap aman.”
Malah ini menggabungkan pendidikan seks dan hiburan.
Label warna merah memperingatkan kalau ini majalah khusus dewasa yang berusia di atas 18 tahun.
Kementerian Informasi menuding majalah itu melanggar izin cetak sebagai majalah fashion karena memuat foto, artikel serta gambar seksual – sesuatu yang dianggap tidak pantas untuk budaya Burma yang konservatif.
Tapi Win Aung, 27 tahun, suka dengan majalah itu.
“Kini banyak anak remaja yang berhubungan seks dengan pasangan mereka. Kami tidak bisa menghentikan mereka melakukan hal itu. Tapi kalau mereka tidak melindungi dirinya sendiri dari berbagai virus dan kehamilan, maka mereka harus menanggung akibatnya. Saya suka sekali dengan majalah ini, karena mendidik kami soal hal-hal itu.”
Pada 2011, Badan PBB untuk AIDS melaporkan ada lebih dari 200 ribu ODHA di Burma – hampir 40 persen diantaranya adalah perempuan.
Di tahun yang sama, sekitar 18 ribu orang meninggal karena penyakit yang berkaitan dengan AIDS.
Masyarakat Burma masih konservatif jika dibandingkan dengan negara tetangga Thailand.
Dan sebagian masih terlalu malu untuk berbicara soal seks atau HIV – atau bahkan membaca majalah itu.
“Kami memerlukan majalah seperti ini, tapi kami harus membatasi diri...jangan terlalu terbuka dengan seks. Tidak baik kalau kita terus-terusan membicarakan hal itu.”
Namun petugas kesehatan ingin masyarakat bisa bicara lebih terbuka soal seks.
Hmu Hey Thar Khae bekerja di salah satu LSM yang berupaya meningkatkan kesadaran masyarakat soal kesehatan.
"Majalah kami sangat membantu pekerjaan kami karena bisa menjangkau banyak orang di seantero negeri ini. Memang sudah jadi tugas kami untuk menyebarkan kesadaran soal penyakit kelamin seperti HIV.”
Tapi dia, juga banyak orang lainnya, merasa gambar-gambar di majalah itu terlalu vulgar.
“Sebagian anak muda mungkin akan terangsang kalau melihat gambar-gambar yang seksual. Orangtua saya tidak akan pernah mengizinkan saya baca majalah seperti ini. Saya harus membacanya diam-diam, kalau saya ingin baca majalah itu.”
Editor majalah tersebut, Ko Oo Swee memperlihatkan edisi pertama dan satu-satunya majalah Hynot.
Ia mengaku sudah siap untuk larangan itu.
“Beberapa tahun lalu, ketika para perempuan mulai tampil dalam berbagai iklan, banyak orang yang mengeluh. Mereka yakin, hal-hal seperti ini tidak boleh diperbincangkan para keluarga. Sekarang pendidikan adalah hal penting yang harus diterima masyarakat.”
Ia menekankan pentingnya pendidikan seks untuk anak muda.
“Coba kita pikirkan berbagai penyakit kelamin seperti HIV. Saya tidak tahu seberapa tepat angka-angka yang dikeluarkan pemerintah, tapi saya yakin, negara kami menempati salah satu urutan yang paling buruk di Asia Tenggara. Thailand membantu mengendalikan penyebaran penyakit kelamin melalui pendidikan seks untuk masyarakat. Tapi pendidikan seks masih kurang untuk orang-orang heteroseksual, biseks dan kaum gaya…seperti misalnya penggunaan kondom. Ini penting sekali untuk masyarakat kami.”
Ko Oo Swe berencana meminta badan sensor untuk mengkaji ulang keputusannya.
Ia ingin menambah bobot majalah dengan artikel yang fokus pada pencegahan HIV dan kasus kekerasan terhadap perempuan.
Akuntan berusia 22 tahun bernama Zin Mar ini mengaku tak sabar membaca majalah Hnyot edisi berikutnya.
“Setelah membaca Hnyot, menurut saya kita membutuhkan majalah seperti ini karena pengetahuan seperti ini masih kurang. Kami tidak bisa mempelajari hal seperti ini di sekolah. Ini tidak diperbolehkan budaya kami. Orang-orang yang lebih tua mengatakan, anak-anak muda semestinya tidak terlibat dan tahu soal hal-hal seperti ini. Tapi kalau kita tidak tahu apa-apa, kami bisa terjerumus melakukan hal yang salah.”