Bagikan:

India Menyambut Hukum Pemerkosaan Baru

Parlemen India telah mengesahkan UU anti pemerkosaan yang sudah lama dinanti, untuk mengatasi meningkatnya kasus kekerasan seksual terhadap perempuan.

INDONESIA

Selasa, 30 Apr 2013 18:48 WIB

India Menyambut Hukum Pemerkosaan Baru

India New Rape Law, Bismillah Geelani

Parlemen India telah mengesahkan UU anti pemerkosaan yang sudah lama dinanti, untuk mengatasi meningkatnya kasus kekerasan seksual terhadap perempuan.

UU itu muncul sebagai jawaban atas kemarahan masyarakat atas pemerkosaan beramai-ramai terhadap seorang perempuan di New Delhi tahun lalu.

Dan disetujui dengan suara bulat.

“Pertanyaannya adalah apakah RUU yang diamandemen yang disahkan? Mereka yang mendukungnya mungkin akan mengatakan Ya. Yang menolak bilang tidak. Gerakan ini yang diadopsi dan RUU yang diamandemenlah yang disahkan.”

Untuk kali pertama, Undang-undang ini memasukkan tindakan menguntit dan voyeurisme sebagai kejahatan.

Hukuman untuk pemerkosaan adalah 20 tahun hingga seumur hidup, sementara hukuman mati dimungkinkan dalam kasus yang ekstrim.

Undang-undang baru juga memaksa polisi untuk mencatat laporan penyerangan sebagai kasus pidana.

Menteri Hukum, Ashwini Kumar, menggambarkan pemberlakuaan UU ini sebagai peristiwa bersejarah.

“Saya senang kedua majelis di Parlemen telah memberikan persetujuan mereka untuk UU Perubahan Pidana bersejarah ini, yang akan menjaga martabat dan melindungi perempuan kami. Ini adalah respon dari pemerintah yang sensitif dan responsif terhadap kemarahan rakyat.”

Tapi para aktivis perempuan yang mengkampanyekan isu ini tidak begitu gembira.

Aktivis hak-hak perempuan, Farah Naqvi, percaya hukum itu harus lebih kuat.

“Apa yang kami inginkan ada di dalam laporan Komite Kehakiman Verma. Laporan itu membawa jiwa kerja keras gerakan perempuan selama beberapa dekade dan membawa kembali kejayaannya. Jadi kita perlu memuji itu dan kita perlu terus mengangap laporan itu sebagai patokan dalam perjuangan kita. Jadi tentu ada kekecewaan.”

Perdebatan panas menghasilkan kesenjangan gender yang tajam dalam Parlemen, di mana anggota parlemen yang didominasi laki-laki memberikan suaranya menentang beberapa ketentuan untuk memperlemah UU itu.

Beberapa anggota parlemen menentang keras usulan menjadikan perbuatan menguntit sebagai pelanggaran yang tidak bisa dibebaskan dengan uang jaminan.

Sharad Yadav, Presiden Partai the Janata Dal United.
 
“Kita adalah manusia dan kita mengalami ini. Anda ingin menjadikan perbuatan menguntit perempuan sebagai kejahatan? Katakan pada saya siapa diantara kita yang tidak melakukannya? Dan kita semua tahu, tidak mudah untuk merayu seorang perempuan. Mereka juga tidak akan begitu saja menerima lamaran Anda. Anda harus berusaha keras, mengikuti mereka, dan menyadarkan mereka kalau kita benar-benar mencintai mereka. Ini terjadi di penjuru negeri dan kita semua punya pengalaman seperti itu.”

Anggota parlemen perempuan menanggapinya dengan mengatakan ini mengurangi pentingnya kejahatan terhadap perempuan.

Supriya Sule mewakili Partai Kongres Nasionalis di Parlemen.

“Saya berdiri di sini sebagai seorang perempuan, seorang ibu dan seorang putri. Sedikit sekali laki-laki yang menyadari kalau kita di sini tidak membahas hak laki-laki. Kita bicara soal keamanan perempuan, yang bisa saja adalah istri, anak perempuan atau ibu mereka.”
 
UU itu mengadopsi sebagian besar rekomendasi panel bentukan pemerintah, menyusul kemarahan masyarakat terhadap pemerkosaan beramai-ramai di Delhi tahun lalu.

Tapi mengabaikan beberapa usulan kunci, termasuk kriminalisasi pemerkosaan dalam perkawinan.

Gopal Subramaniam merupakan salah satu anggota Komite Kehakiman Verma.

“Bisakah Anda bayangkan kalau di Mahkamah Agung Nepal membatalkan kekebalan dalam pemerkosaan dalam perkawinan. Di Swaziland, Anda tidak punya kekebalan dalam hal pemerkosaan. Anda tidak punya kekebalan di Afrika Selatan dan semua negara Amerika Latin. Apakah Anda percaya India masih sangat regresif? Bahwa kita tidak bisa bergerak dari wacana kehormatan dengan apa yang disebut integritas hak perempuan?”

Dan masalah ini bahkan telah membelah para pengunjuk rasa. Ruchi Luthra mengatakan masyarakat belum siap dengan keputusan itu.
 
“Jika pemerkosaan dalam perkawinan dianggap pemerkosaan secara hukum, hari ini saya pikir 99 persen pria India akan masuk dalam definisi pemerkosa. Dan kami akan memenjarakan atau mengirim seluruh bangsa ini ke tiang gantungan. Pria India tidak pernah minta izin untuk berhubungan seksual dengan istrinya, karena mereka pikir itu haknya untuk melakukan apa saja kapan saja. Ini sudah jadi kebiasaan mereka. Kita tidak bisa mengubahnya dalam semalam.”

Namun pengunjuk rasa seperti Duranbasu Malik melihatnya sebagai sumber utama kekerasan terhadap perempuan.
 
“Semua orang yang merancang UU ini berasal dari latar belakang yang sama. Mereka punya pola pikir patriarki yang sama dan tidak mengerti, kalau kekerasan berasal dari rumah. Pemerkosaan dalam pernikahan adalah sesuatu yang terjadi pada hampir setiap perempuan di India. Kami tidak ingin mendamaikan keluarga. Jika seorang perempuan merasa tidak bahagia dengan suami atau keluarganya, maka dia harus keluar dari situ.”


Kirim pesan ke kami

Whatsapp
Komentar

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!

Kabar Baru Jam 7

Strategi Perempuan Pengemudi Ojol Mengatasi Cuaca Ekstrem (Bag.4)

Arab Saudi Bangun Taman Hiburan Bertema Minyak di Tengah Laut

Menguji Gagasan Pangan Cawapres

Mahfud MD akan Mundur dari Menkopolhukam, Jokowi: Saya Sangat Hargai

Most Popular / Trending