Jakarta dilumpuhkan oleh banjir bulan ini karena curah hujan yang begitu tinggi.
Lebih dari 100 ribu orang terpaksa meninggalkan rumah mereka karena tinggi air mencapai atap rumah mereka.
Gubernur Jakarta Joko Widodo menyatakan status darurat sampai akhir bulan ini.
Gadis kecil bernama Salwa ini tinggal di Kampung Melayu, salah satu daerah yang paling parah terkena banjir di timur Jakarta. Bagi dia, banjir tahun ini bakal terus dikenang.
“Malam-malam, hari Selasa malam jam 9 keluar naik perahu, aku nangis, takut jatuh”
Salma baru saja berulang tahun ke-10.
Dia dan keluarga harus dievakuasi ketika tinggi air mencapai atap rumah mereka.
Dia harus merayakan ulang tahunnya di tempat pengungsian bersama puluhan pengungsi lainnya di parkir bawah tanah sebuah gedung.
Dia tidak bisa merayakan ulang tahun seperti yang dijanjikan neneknya, Siti Hadidjah.
“Waktu sebelum banjir kita merencanakan ulang tahun Salwa, dengan teman temannya. Dia kan ada pengajiannya di TPA, itu mau mebuat sukuran. Sukuran misalnya membuat nasi udug, dengan kue kue nya. Ternyata pada tanggal 16 itu banjir, jadi batal.”
Saya bertanya pada sahabat Salwa, Anam, apa yang dia siapkan untuk kado Salwa.
“Nggak ada! Nggak ada duit! [laughs]”
Tempat pengungsian ini padat. Keluarga-keluarga sudah mengungsi selama lebih sepekan di sini.
Tikar digelar di mana-mana, banyak keluarga harus bertahan dengan sumbangan dari warga berupa air dan mi instan.
Tidak ada kipas angin di parkiran ini, sangat panas di sini.
Tapi bagi Siti, nenek Salwa, yang terpenting adalah menjaga anak-anak tetap gembira.
“Saya rasa yang membutuhkan untuk mereka-mereka ini. Untuk anak anak ini saja. Selimut ada permainan ya misalnya, kalau laki-laki mobil-mobilan atau apakan untuk bermainan di luar. Kalau Salwa itu, bisanya mereka senang.”
Banjir kali ini menyulap Jakarta menjadi sungai besar dan pusat bisnis terendam banjir.
Sedikitnya 26 orang meninggal akibat banjir.
Banjir besar terakhir yang melanda Jakarta adalah di tahun 2007 dengan 54 korban jiwa.
Gubernur Jakarta Joko Widodo telah menyatakan status darurat sampai cuaca membaik.
Keluarga Salwa adalah satu dari 3.5 juta warga Jakarta yang hidup di bawah garis kemiskinan menurut data Badan Pusat Statistik.
Sesuai standar Bank Dunia, artinya mereka hidup dengan kurang dari Rp 8000 per hari.
Mereka tak punya pilihan selain membersihkan rumah dan menghadapi banjir tahunan.
Kampung Melayu terletak di tepi Sungai Ciliwung yang melintas kota Jakarta.
Sungai ini sangat kotor dan menyebabkan banjir setiap tahun.
“Kita sih berencana pindah, tapi keadaan nggak ada, kita terpaksa saja tinggal di situ. Karena banjirnya sudah biasa, jadi ya biasa saja. Sudah nggak takut lagi lah.”
Siti dan keluarganya telah tinggal di sini selama lebih 40 tahun.
“Sukanya karena kitakan di sini lokasinya enak, dekat ke mana mana. Dukanya kalau banjir”.
Nani Mulyani, ibu Salwa, tengah hamil 8 bulan. Dia terlihat letih.
“Perasaan ya ada sedih, ada senang, campur raduk lah. Sedihnya tidur di pengungsian, dingin, angin, terbuka. Senangnya banjirnya sudah surut bisa cepat pulang.”
Tinggi air telah surut, tapi rumah mereka masih lembab dan lumpur ada di mana-mana.
Mungkin butuh beberapa pekan lagi sampai mereka betul-betul bisa kembali ke rumah.
Nani berharap bisa tiba di rumah sebelum melahirkan anak keduanya.
Salwa pun masih menyimpan harapan ulang tahunnya...
“Tidak terulang banjir seperti ini lagi”