Satu dari empat perempuan Cina menjadi korban kekerasan oleh pasangannya.
Tapi Cina tak punya hukum yang secara khusus melarang kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).
Kim Lee, istri dari tokoh terkenal di Cina, mengangkat isu KDRT. Baru-baru ini ia memenangkan perceraian dari suaminya yang suka memukul.
Seperti kebanyakan korban KDRT, selama bertahun-tahun Kim Lee menutupi kekerasan yang dilakukan suaminya.
“Saya tidak mau membicarakannya. Satu kali saudara ipar saya melihat memar di lengan saya. Saya bilang ‘ini dilakukan saudara laki-laki mu’. Lalu ia dengan cepat menjawab ‘ya semua laki-laki seperti itu.’ Jadi saya tidak pernah bilang apa-apa kepada siapapun. Sampai Agustus dua tahun lalu.”
Kim Lee adalah warga negara Amerika Serikat yang menikah dengan selebritas Cina, Li Yang.
Li Yang, seorang milyader dan penemu metode belajar bahasa Inggris yang sangat populer.
Tahun 2011, Kim Lee mempublikasikan foto-fotonya di media sosial Cina, menguak kondisi pernikahannya mereka yang sesungguhnya.
Dari foto-foto itu terlihat ia mengalami memar di lutut, benjolan di kening dan telinga yang membiru, akibat dipukul.
“Saya kira ini mengenai kesadaran yang paling dalam. Perempuan memahami kalau ini memang terjadi, tapi tidak bisa mengatakannya. Dan saya tidak secara khusus membicarakan Cina tapi ini soal perempuan.”
Di Cina, baru kali ini ada istri seorang tokoh terkenal yang secara terbuka menyatakan kalau ia korban pemukulan.
Dalam sebuah wawancara , suaminya mengakui telah memukul sang istri. Tapi ia tak pernah menyangka istrinya akan melaporkan hal itu ke polisi – ini bukan sesuatu yang dilakukan perempuan Cina, kata dia.
Pertarungan hukum mereka berlangsung 18 bulan. Ini menjadi salah satu kasus perceraian yang paling banyak diikuti di negeri itu.
Pengadilan akhirnya memutuskan perceraian mereka bulan lalu, dan menyerahkan hak asuh ketiga mereka kepada Kim Lee serta memberikan kompensasi atas kekerasan yang dialaminya.
Pengadilan bahkan mengeluarkan perintah penahanan terhadap bekas suaminya – ini kali pertama terjadi di Beijing.
Namun dia mengatakan, tidak adanya Undang-undang tentang KDRT menimbulkan banyak kebingungan.
“Bukan berarti pemerintah tidak peduli tapi karena mereka tidak tahu apa yang harus dilakukan. Dan ketidaktahuan ini membuat mereka mengesampingkan tanggung jawabnya.”
Organisasi pembela hak perempuan di Cina telah menyusun UU yang berisi definisi dan hukuman bagi kasus KDRT. Dan mereka mendesak pemerintah untuk mengadopsinya.
Liu Xiaoquan adalah pengacara hak perempuan yang tinggal di Beijing.
Kata dia, banyak provinsi telah melangkah maju dan memberlakukan UU lokal tentang kekerasan dalam rumah tangga.
Dia optimistis hukum nasional akan segera disahkan meski sulit memperkirakan kapan itu akan terjadi.
“Sangat jelas kalau UU KDRT sangat diinginkan masyarakat Cina. Tidak hanya bisa dilakukan sekarang, tapi perlu, karena kerangka hukumnya sudah ada.”
Tapi banyak yang percaya UU itu baru bisa diterima secara luas dan diterapkan secara efektif jika ada perubahan budaya.
Fang Gang adalah dosen di kajian gender di Forestry University Cina.
“Orang masih cenderung melihat KDRT sebagai peristiwa langka, dan tidak mengerti seberapa dalam budaya itu. Hukum itu sangat penting, tapi saya pikir hal terpenting adalah perubahan pengetahuan dalam masyarakat.”
Untuk mendorong perubahan itu, Fang juga mengadvokasi laki-laki.
Pada 2010, ia memulai sebuah hotline tentang kekerasan dalam rumah tangga dan mendorong para laki-laki untuk menelpon.
Telpon pertama datang dari seorang pegawai negeri biasa. Ia mengaku tidak bahagia karena tidak bisa dapat promosi di kantor dan kehidupan di rumah juga memburuk.
Di telpon ia mengaku telah memukul istrinya.
Fang membantunya mengatasi perasaan frustasi pria itu.
“Kenapa dia sangat ingin dapat promosi? Di balik kecemasan itu ada harapan yang besar di tengah masyarakat terhadap laki-laki. Bahwa mereka harus sukses dan menghasilkan uang. Kami membantunya berpikir tentang masalahnya dari perspektif ini.”
Kata Kim Lee, ia sekarang ingin membantu perempuan lain.
Dan organisasi perempuan berharap bisa menjadikan kasusnya sebagai contoh untuk membantu korban lainnya, seperti Li Yan, yang menghadapi hukuman mati karena membunuh suaminya.
Selama bertahun-tahun ia jadi korban kekerasan, sudah melapor ke polisi yang tak melakukan apa pun. Keluhannya dianggap ‘masalah keluarga yang pribadi’ – sebuah reaksi umum di Cina.
Lee menunjukkan pada saya tumpukan pesan dengan tulisan tangan yang diterimanya sejak kisahnya pertama kali tersebar.
Kebanyakan berisi kata seperti 'zhichi', yang dalam bahasa Cina berarti ‘Saya mendukung Anda.’
“Ini bukan lagi kisah pribadi saya, dan sekarang sudah selesai. Yang penting sekarang adalah perempuan di belakang saya, mereka tidak boleh mengalami apa yang saya alami. Pesan yang saya terima di malam perceraian saya adalah tidak peduli apa pun, malam ini tidak boleh ada seorangpun yang memukul istrinya. Sudah waktunya.”
Cina Butuh UU KDRT
Satu dari empat perempuan Cina menjadi korban kekerasan oleh pasangannya. Tapi Cina tak punya hukum yang secara khusus melarang kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).

INDONESIA
Kamis, 11 Apr 2013 14:20 WIB

China Domestic Violence, Rebecca Valli, Kim Lee, Li Yang
Kirim pesan ke kami
WhatsappRecent KBR Prime Podcast
Kabar Baru Jam 7
Strategi Perempuan Pengemudi Ojol Mengatasi Cuaca Ekstrem (Bag.4)
Arab Saudi Bangun Taman Hiburan Bertema Minyak di Tengah Laut
Menguji Gagasan Pangan Cawapres
Mahfud MD akan Mundur dari Menkopolhukam, Jokowi: Saya Sangat Hargai