Bagikan:

Tantangan Kaum Difabel di Burma

Ada 2,3 persen penduduk Burma yang memiliki cacat tubuh. Bagi mereka, hidup sangatlah berat.

INDONESIA

Selasa, 26 Mar 2013 21:01 WIB

Author

Ye Khaung

Tantangan Kaum Difabel di Burma

Burma Disability, Ye Khaung, DVB

Ada 2,3 persen penduduk Burma yang memiliki cacat tubuh. Bagi mereka, hidup sangatlah berat.

Hanya ada enam sekolah publik untuk orang cacat di penjuru negeri ini. Sisanya adalah sekolah swasta atau sekolah yang dijalankan LSM.

Dan sangat sulit untuk mendapatkan pekerjaan.

Tapi ada satu pria yang mengalahkan semua kesulitan dan menjadi panutan bagi mereka yang tuli di Burma.

Dia bekerja sebagai pembawa acara dengan bahasa isyarat untuk Democratic Voice of Burma.

Dan bersama dengan sejumlah sekolah untuk anak-anak tuli, mereka berupaya meningkatkan kepedulian masyarakat terhadap disabilitas di Burma.

Sekolah Mary Chapman di Rangoon punya lebih dari 350 pelajar.

Sekolah ini didirikan pada 1920 oleh Mary Chapman, seorang perempuan asal Inggris. Ini adalah satu dari dua sekolah khusus untuk para tunarungu di Burma.

Sekolah ini mengajar para siswa dari tingkat sekolah dasar hingga kelas 18.

“Sebagai satu sekolah di Burma, di sini mereka belajar bahasa isyarat dalam bahasa Burma. Tapi mereka mencoba belajar berbagai isyarat internasional sendiri dengan membaca buku.“

Anak-anak sibuk menggerakkan tangan mereka untuk berkomunikasi dengan bahasa isyarat.

Mereka mendapatkan pendidikan yang baik, namun masa depan mereka masih tak pasti.

Hanya 15 persen  kaum difabel yang dapat pekerjaan.

“Mereka sedih karena meski sudah lulus ujian persamaan, orang lain berpikir, mereka itu tidak berguna.”

Menurut data resmi, ada 1,2 juta orang dengan keterbatasan fisik. Tapi banyak yang meyakini kalau jumlah sebenarnya lebih tinggi.

Mereka adalah kelompok yang tidak beruntung.

Dan kerap menjadi korban pelecehan karena dianggap sebagai sasaran empuk.

Margrad Kyaw Mya adalah kepala sekolah di sini.

“Ada banyak siswa yang lebih pintar ketimbang anak-anak biasa. Mereka hanya kesulitan berbicara karena mereka tidak bisa mendengar. Saya harap para pelajar di sini bisa diperlakukan seperti anak-anak lainnya, seperti manusia lainnya.”

Sekolah  itu juga mengajarkan keterampilan khusus seperti menjahit dan memasak.

Tapi ada banyak hal yang tak bisa diraih anak-anak ini.

Akses terhadap berita sangatlah minim. Mereka tak bisa mendengarkan berbagai siaran. Apalagi tingkat melek huruf dalam komunitas difabel masih rendah.

Tapi untuk kali pertama, siaran berita bisa dinikmati komunitas difabel.

Democratic Voice of Burma kini memiliki penyiar yang menggunakan bahasa isyarat.

“Kata dia, dia bisa mengerti separuh bahasa isyarat di TV. Karena kurang tahu berbagai kosakata, mereka senang sekali dengan bahasa isyarat yang dipakai di televisi dan tertarik sekali menonton program itu.”

Penyiar bahasa isyarat untuk DVB adalah Bo Bo Kyaing.

Ia kehilangan pendengarannya karena kecelakaan saat Festival Air ketika masih berusia 15 tahun.

Karena orangtuanya juga tuna rungu, Bo Bo sudah paham bahasa isyarat sejak kecil.

Tapi belum ada kurikulum standar untuk mengajarkan bahasa isyarat. Dulu, orang-orang  sudah mencoba mencetak buku Bahasa Isyarat, tapi dihentikan pemerintah.

“Bahasa isyarat Burma belum lengkap karena pemerintah campur tangan. Mereka tidak mengizinkan sejumlah kata dijadikan bahasa isyarat, jadi mereka menghapusnya. Dan mereka memasukkan kata-kata yang mereka suka.”

Karena tidak ada bahasa isyarat Burma yang umum, para siswa kesulitan untuk saling berkomunikasi.

“Hanya ada beberapa kata isyarat Burma dalam bahasa isyarat yang umum. Kata-kata itu dicampur dengan isyarat Amerika, Australia dan Thailand. Itu sebabnya ketika mereka lulus dari sekolah. mereka kesulitan berkomunikasi dengan para siswa senior di luar sekolah.”

Eden adalah  pusat penitipan anak swasta pertama untuk anak-anak dengan keterbatasan fisik dan mental di Rangoon.

Tempat ini tidak hanya menyedikan perawatan dan terapi, tapi juga mengajarkan cara merawat anak-anak istimewa ini.

Htar Oat adalah pendiri Eden.

“Kami hanya ingin membagikan pengetahun dan pengalaman kami sebanyak mungkin.”

Mereka juga meningkatkan kesadaran untuk mengubah pandangan dan sikap orang terhadap kaum difabel – tapi ini masih sulit dilakukan.

“Pemahaman masyarakat seputar kaum difabel masih sangat negatif. Ketika orang melihat atau bertenu dengan orang difabel, mereka punya pikiran dan pandangan negatif. Ini menyulitkan pekerjaan kami.”

Di tengah proses reformasi negeri itu yang menjanjikan, masih sangat sedikit upaya yang dilakukan untuk membantu kaum difabel.

Yayasan The Shew Min Thar meminta adanya Undang-undang yang bisa melindungi dan mendukung kaum difabel dengan lebih baik lagi.

Namun sejauh ini rancangannya belum sampai ke Parlemen.

Sampai hak-hak kaum difabel diakui, orang-orang seperti Bo Bo akan terus berupaya meningkatkan kesadaran masyarakat dan mengubah sikap mereka.





Kirim pesan ke kami

Whatsapp
Komentar

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!

Kabar Baru Jam 7

Strategi Perempuan Pengemudi Ojol Mengatasi Cuaca Ekstrem (Bag.4)

Arab Saudi Bangun Taman Hiburan Bertema Minyak di Tengah Laut

Menguji Gagasan Pangan Cawapres

Mahfud MD akan Mundur dari Menkopolhukam, Jokowi: Saya Sangat Hargai

Most Popular / Trending