Masyarakat sipil dan kelompok HAM di India menyerukan reformasi kepolisian segera demi mencegah meningkatnya angka kekerasan terhadap perempuan.
Rakyat India telah menyuarakan kemarahan mereka atas pemerkosaan brutal yang menimpa seorang perempuan di Delhi. Pemerintah pun didesak untuk mengumumkan serangkaian langkah untuk menjamin keamanan perempuan.
Tapi tanpa reformasi kepolisian, semua langkah ini hanya akan terjadi di permukaan.
Dalam wawancara di TV setempat, kekasih korban pemerkosaan beramai-ramai bulan lalu ini bercerita tentang kejadian yang mengerikan itu.
Saat itu ia sedang bersama pacarnya yang berusia 23 tahun, ketika mereka diserang enam pria di dalam sebuah bus.
Ia adalah satu-satunya saksi atas kejahatan itu.
“Kami tergeletak di jalanan selama hampir dua jam, telanjang, berdarah dan menangis minta tolong. Banyak orang datang dan pergi tapi tidak ada yang membantu. Orang-orang yang lewat naik becak, mobil dan sepeda melambatkan kendaraannya melihat, tapi setelah melihat kami lantas mereka pergi. Sekitar 30an orang berdiri tak jauh dan menonton kami sambil mengomentari kami. Mereka bisa saja menawarkan pakaian atau membawa kami ke rumah sakit, tapi itu tidak terjadi. Hari ini orang-orang memprotes dan membawa lilin untuk mendukung kami tapi saat itu tidak ada seorang pun yang menawarkan bantuan ketika itu sangat dibutuhkan dan membuat perbedaan.”
Ia juga mengkritik sikap polisi yang disebutnya ‘asal-asalan’ dan tidak sensitif dalam menangani kasus ini.
“Seseorang menelepon polisi dan setelah cukup lama tiga mobil polisi muncul. Tapi bukannya menghampiri kami, mereka malah sibuk berdekat soal kantor polisi mana yang seharusnya menangani kasus ini. Ada yang bilang kantor polisi ini, tapi yang lain bilang bukan, dan seterusnya. Dan ini berlangsung cukup lama. Kami berteriak agar diperhatikan, meminta mereka agar memberi kami pakaian atau setidaknya memanggil ambulans untuk membawa kami ke rumah sakit. Tapi mereka bilang, biar mereka putuskan dulu soal kantor polisi mana yang berhak. Saya lebih khawatir dengan kondisi pacar saya yang mengalami pendarahan hebat. Tapi mereka tidak memanggil ambulans.”
Tapi polisi menyangkal hal ini. Mereka mengaku langsung merespon tak lama setelah mereka mendapat laporan soal kejadian itu dan membantu korban semampu mereka.
Tapi ini bukanlah satu-satunya kasus.
Dua pekan setelah pemerkosaan beramai-ramai di Delhi, seorang perempuan Punjab berusia 17 tahun bunuh diri setelah diculik dan diperkosa oleh tiga pria.
Ibu korban mengatakan polisi lah yang membuat putrinya bunuh diri.
“Polisi menolak menangani kasusnya selama 45 hari. Setelah putri saya tewas, baru mereka bertindak dan menangkap tersangka. Sebelumnya, setiap kali kami mendatangi mereka, mereka menuduh kami berbohong dan bahkan mengancam akan menangkap kami. Mereka bilang putri saya tidak diculik, ia pergi secara sukarela dengan para pria itu. Penduduk desa bahkan mulai mengatakan hal-hal buruk tentang putri saya. Ketika ia menyadari tak seorang pun mendengarkan dan polisi malah melecehkan kami, ia kehilangan semua harapan untuk mendapatkan keadilan dan meracuni dirinya sendiri.”
Sebagian besar kasus kekerasan terhadap perempuan tidak dilaporkan di India.
Kasus yang dilaporkan pun butuh waktu bertahun-tahun untuk sampai di pengadilan dan bahkan jarang sekali yang berakhir dengan hukuman.
Sekitar 40 ribu kasus pemerkosaan mengendap di pengadilan India dan kasus seperti ini mendapatkan putusan hukum yang paling rendah.
Jagmati Sangwan, Wakil Presiden Asosiasi Perempuan Demokratis Seluruh India, mengatakan, penyebabnya adalah sikap bias gender polisi.
“Semua langkah yang dikembangkan untuk keselamatan dan keamanan perempuan di negeri ternyata tidak mendukung perempuan, malah melawan mereka. Mereka membela para penjahat dan mendorong kejahatan terhadap perempuan. Peran polisi sangat negatif. Polisi percaya perempuan-lah yang memintanya, itu sebabnya mereka bahkan tidak mendaftar kasus pemerkosaan. Mereka sering menerima suap dari terdakwa dan kemudian mendesak korban agar mau berkompromi dengan segala cara, termasuk ancaman dan lain-lain. Dan jika mereka mendaftarkan kasus itu, penyelidikan dilakukan sedemikian rupa sehingga korban dibuat merasa seolah-olah dialah pelakunya. Mereka ditanyai dengan pertanyaan-pertanyaan yang memalukan, diintimidasi dan ditempatkan dalam situasi penyelidikan yang sangat melelahkan dan menimbulkan trauma. Tujuannya agar mereka berhenti menuntut pengusutan kasus ini.”
Dua tahun lalu, sebuah majalah berita yang berbasis di New Delhi, Tehelka, melakukan sebuah misi rahasia untuk mengekspos sikap polisi terhadap korban pemerkosaan.
Kebanyakan polisi, bahkan yang sudah senior, menyalahkan para korban atas penderitaannya itu.
Begitu ini terungkap ke publik, langsung muncul kegemparan dan seruan untuk reformasi kepolisian.
Tapi menurut editor Tehelka, Shoma Chowdhari, tidak ada apa pun yang terjadi setelah itu.
“Ada petugas yang tertangkap kamera dan setiap percakapannya tercatat. Tidak ada percakapan yang diarahkan. Anda hanya harus berhenti dan bertanya apa tindakan yang diambil terhadap mereka. Semua berpendapat bahkan yang paling senior. Mereka bilang kami tidak bisa mengambil tindakan terhadap mereka dan tidak ada yang terjadi. Jadi apa yang semua orang bicarakan adalah kita harus melarang sikap tertentu ketika Anda mengenakan seragam.”
Polisi mengklaim sudah menjalankan program kesadaran gender. Tapi bahkan polisi senior sepakat, ini tidak membawa banyak perubahan.
Seruan untuk melakukan reformasi juga datang dari dalam kepolisian sendiri.
Prakash Singh adalah bekas Direktur Jenderal Kepolisian. Dia berjuang untuk waktu yang lama demi mendapatkan putusan Mahkamah Agung, yang memerintahkan pemerintah untuk melakukan reformasi kepolisian.
Pada 2007, Mahkamah Agung mencatat beberapa hal yang paling mendesak untuk direformasi.
Diantaranya adalah memodernkan kepolisian, memisahkan hukum dan peraturan, dan mendongkrak kesadaran gender di kalangan polisi.
Singh menggarisbawahi kenyataan kalau polisi masih memakai Undang-undang Kepolisian dari zaman kolonial.
“Selama Inggris berkuasa, mereka tertarik untuk mempertahankan struktur kolonial dalam segala hal. Mereka punya alasan untuk semua hal. Anda tidak bisa menyalahkan mereka atas Undang-Undang Kepolisian tahun 1861. Mereka ingin seperti itu, mereka ingin sebuah lembaga yang menegakkan otoritas kekaisaran di India. Yang disesali kemudian adalah setelah 1947, saat pemerintah India memikirkan perubahan dalam berbagai bidang kehidupan dan kegiatan pemerintahan, semua pihak merasa nyaman untuk mempertahankan Undang-Undang Kepolisian 1861 itu. Mereka berpikir lebih baik berada di atas perintah mereka sendiri, dan dapat disalahgunakan untuk memajukan agenda politik mereka. Apa yang kita miliki saat ini adalah polisi penguasa. Lewat reformasi kami ingin mereka menjadi polisi rakyat.”
Sampai kini tidak ada perubahan yang terjadi.
Tuntutan reformasi di kepolisian terus meningkat di tengah tuduhan kelalaian polisi dalam penanganan kasus pemerkosaan Delhi.
Dan itu adalah kunci perubahan yang sebenarnya, kata Anup Trivedi, editor politik harian berbahasa Hindi, Nai Duniya.
“Reformasi di kepolisian ini sudah lama tertunda. Tapi sekarang sudah jadi kebutuhan mendesak. Ini tidak hanya akan membuat inisiatif lain menjadi lebih efektif, tapi juga akan menjadi penghormatan kepada para korban pemerkosaan Delhi dan orang lain yang menanti keadilan.”
Rakyat India Serukan Reformasi Kepolisian untuk Lindungi Perempuan
Masyarakat sipil dan kelompok HAM di India menyerukan reformasi kepolisian segera demi mencegah meningkatnya angka kekerasan terhadap perempuan.

INDONESIA
Sabtu, 30 Mar 2013 21:43 WIB

India Police Reform, Bismillah Geelani, Gang Rape
Kirim pesan ke kami
WhatsappRecent KBR Prime Podcast
Kabar Baru Jam 7
Strategi Perempuan Pengemudi Ojol Mengatasi Cuaca Ekstrem (Bag.4)
Arab Saudi Bangun Taman Hiburan Bertema Minyak di Tengah Laut
Menguji Gagasan Pangan Cawapres
Mahfud MD akan Mundur dari Menkopolhukam, Jokowi: Saya Sangat Hargai