Pekan ini larangan duduk mengangkang saat dibonceng di sepeda motor secara resmi diluncurkan di kota Lhokseumawe, Provinsi Aceh.
Pemerintah daerah itu menyebarkan pemberitahuan di kantor-kantor pemerintah dan desa-desa. Isinya menginformasikan kepada masyarakat soal aturan yang melarang perempuan duduk mengangkang ketika dibonceng di sepeda motor atau berpegangan pada pengendara.
Lhokseumawe terletak di Aceh, satu-satunya provinsi di Indonesia yang menjalankan hukum Syariah disamping hukum nasional.
Dan kini perempuan di Lhokseumawe, Aceh, tidak bisa lagi duduk mengangkang saat dibonceng di sepeda motor.
Rancangan Perda itu telah dipublikasikan secara luas dengan poster dan selebaran di seluruh kota.
Aturan itu diajukan karena pemerintah mengatakan 'lekuk tubuh perempuan' lebih terlihat ketika duduk mengangkang di sepeda motor ketimbang bila duduk menyamping.
Duduk mengangkang juga disebutkan bisa memprovokasi pengendara laki-laki dan menempatkan perempuan dalam posisi yang sulit.
Dan menurut Walikota Lhokseumawe Suaidi Yahya, duduk mengangkang bertentangan dengan ajaran Islam.
“Ini adalah peningkatan budaya Aceh yang Islami, budaya yang di Aceh hampir hilang.”
Aceh merupakan satu-satunya provinsi di Indonesia yang melaksanakan hukum Syariah di samping hukum nasional.
Peraturan baru yang telah disahkan itu disebut-sebut untuk mengatur moralitas masyarakat.
Larangan duduk mengangkang bukanlah satu-satunya perda yang mendiskriminasi perempuan.
Tahun 2010, pemerintah Aceh Barat melarang perempuan mengenakan celana jins ketat dan celana pendek.
Dan tahun lalu, seorang gadis berusia 16 tahun bunuh diri setelah Polisi Syariah menangkapnya di sebuah konser musik dan secara keliru menuding gadis itu melacurkan diri.
LSM Kontras baru-baru ini melaporkan jumlah insiden kekerasan akibat pelaksanaan hukum Syariah di Aceh meningkat – dengan total 50 kasus tahun lalu.
Destika Gilang Lestari, Koordinator Kontras di Aceh.
“Dari hasil pantauan kita mengalami kenaikan, memang tindakan yang paling besar itu pemukulan yang dilakukan masyarakat.ada 16 kasus pemukulan yang dilakukan masyarakat. Jadi orang dianggap pelaku khususnya khalwat seringkali ditangkap masyarakat dimandikan dengan air comberan.”
Malaysia, yang juga menerapkan hukum Syariah, justru melarang dan menangkap orang yang duduk menyamping.
Para ulama mengatakan cara berkendara sepeda motor tidak diatur oleh hukum Syariah dan tidak ada disebutkan dalam Al Quran.
Tapi Pemkot Lhokseumawe akan terus melaju dengan rancangan Perda ini. Aturan bakal dikaji dalam sebulan dan kemudian ditetapkan sebagai Perda.
Sekretaris Daerah Lhokseumawe Dasni Yuzar mengatakan mereka sudah menyiapkan daftar hukuman.
“Paling tidak ya sanksi moral. Saya yakin orang tidak akan nyaman lagi duduk ngangkang di kota Lhokseumawe ini. Rata-rata orang kita himbau dan instruksikan kepada seluruh pegawai supaya bila berboncengan di motor, wanitanya tidak boleh duduk ngangkang. Sanksi moral itu nantinya bisa kita buat permalukan, kita tegur atau kita stop.”
Komnas Perempuan menyatakan kebijakan itu mendiskriminasi perempuan atas nama agama dan moralitas.
Aktivis perempuan lokal Suraiya Kamaruzzaman mengatakan pemerintah punya lebih banyak PR yang harus dikerjakan, ketimbang mengurusi bagaimana perempuan seharusnya duduk di sepeda motor.
“Aceh Utara termasuk Lhokseumawe merupakan daerah yang terkena imbas konflik yang cukup besar. Sampai saat ini sebenarnya persoalannya banyak yang belum selesai, pengembalian hak korban belum selesai. Belum lagi Aceh Utara termasuk Lhokseumawe adalah wilayah yang penduduknya paling banyak desa miskin. Jadi ketika tiba-tiba mengeluarkan peraturan mengatur bagaimana perempuan duduk di atas kendaraan bermotor, rasanya sama sekali tidak menjawab kebutuhan dasar yang seharusnya menjadi prioritas pemerintah.”
Pemerintah pusat berjanji akan meninjau aturan itu jika sudah disahkan.
Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi mengatakan semua Perda memang harus dikaji oleh Kementerian.
“Itu harus kita dalami. Apakah ini tradisi dari dulu yang ingin dipelihara atau ada sesuatu yang dijadikan alasan di situ seolah-olah perempuan membawa persoalan. (Akan menyelesaikan kapan?) Begitu sampai ke kita, kita langsung beri tanggapan nanti. (Perda ini bisa dibatalkan?) Ini kita dalami. Prosedur bisa saja, peraturan perundangan-undangan bisa saja. Karena ini kewenangan pemerintah pusat untuk mengevaluasi dan memverifikasi perda itu. Biasanya tidak sampai sebulan. Satu perda itu paling lama 14 hari.”
Tapi perempuan Aceh seperti Rina kini khawatir akan keselamatan dirinya di boncengan sepeda motor...
“Menurut saya naik kereta (sepeda motor) itu lebih nyaman pakai celana. Karena kalau pakai rok itu satu sisi ada bahayanya juga, karena roknya bisa masuk ke jari-jari kan bisa kecelakaan. Saya juga sudah pernah pakai rok, terus roknya masuk jari-jari dan saya hampir jatuh hari itu. Makanya saya lebih suka pakai celana, duduk ngangkang. Dalam artian bukan kita tidak setuju peraturan walikota, tapi saya lebih nyaman.”