Our Homeland adalah film tentang seorang laki-laki Korea yang mengunjungi keluarganya di Jepang, setelah hidup terasing sangat lama di Korea Utara.
Sang sutradara, Yang Yong-Hi, membuat film ini berdasarkan sejarah pribadinya dan cerita-cerita mirip yang terjadi di komunitas pro-Korea Utara di Jepang.
Yang menggambarkan bagaimana orang-orang Korea yang tinggal di Jepang diperlakukan sebagai warga kelas dua dan kerap mengalami diskriminasi.
Film ini terpilih oleh Jepang sebagai nomine penghargaan Oscar tahun ini, dan baru-baru ini diputar dalam satu festival film di Swedia.
Ini adalah film drama keluarga yang lembut namun tegang, berdasarkan kisah hidup Yang di Jepang pada tahun 1980-an.
Pada masa itu perekonomian Korea Utara lebih kuat ketimbang Korea Selatan.
Ayahanda Yang mengirim kedua saudara laki-lakinya dari Jepang ke Korea Utara karena yakin negeri itu bak surga.
“Kim Il Sung membuat pidato yang indah sekali kepada orang-orang Korea yang tinggal di Jepang: ‘Pilihlah Korea Utara sebagai tanah air Anda, dan kami akan memberikan Anda pekerjaan, pendidikan, perawatan medis dan rumah. Jadi mengapa Anda tidak datang ke Korea Utara?’ Itulah pidato yang kedengarannya enak bagi orang-orang Korea yang punya status yang paling buruk. Lebih buruk dari sampah.”
Banyak orangtua yang yakin, kehidupan bakal lebih baik di Korea Utara ketimbang di Jepang.
Yang sendiri adalah generasi yang kedua di Jepang. Seperti orang Korea lainnya, ia bersama keluarganya merasa diperlakukan sebagai warga kelas dua.
Orang Korea dipaksa menggunakan nama Jepang, bekerja di pertambangan batubara dan industri berbahaya lainnya dengan upah yang rendah... itu pun kalau mereka bisa mendapatkan pekerjaan.
“Waktu saya masih muda, saya bahkan tidak bisa mendapatkan pekerjaan paruh waktu sebagai pelayan restoran, karena identitas saya, karena nama Korea saya.”
Film Homeland bercerita seputar kisah reuni Yang dengan saudara laki-lakinya yang dikirim ke Korea Utara.
Saudara laki-lakinya itu bernama Songho. Dia kembali ke Jepang untuk mendapat perawatan tumor otak.
Tapi ia merasa sangat ketakutan dengan keadaan sekelilingnya yang asing.
“Dalam kehidupan saya yang sebenarnya, waktu itu saya benar-benar mencoba menyembunyikan emosi saya. Saya berusaha berpura-puara kalau saya baik-baik saja. Dengan keadaan yang parah atau tumor saudara laki-laki saya...saya benar-benar mencoba untuk baik-baik saja.”
Sebagai pembuat film, Yang mengangkat dua isu serupa dalam dua dokumenter lainnya. Keduanya dibuat berdasarkan interaksi Yang dan keluarga di Korea Utara.
Dalam dokumenternya berjudul Dear Pyongyang yang meraih penghargaan, Yang bertanya pada sang ayah, apakah ia menyesal mengirim anak-anak laki-lakinya ke Korea Utara.
Ayahnya tidak menjawab, tapi menunduk dan terpekur menatap lantai.
“Ayah saya menunjukkan sikap itu dalam film dokumenter saya yang pertama. Itu sebabnya asosiasi Korea Utara di Jepang benci dokumenter saya. Dia jujur sekali, dia bilang: ’Saya semestinya tidak mengirim anak-anak laki-laki saya.’ Dia katakan itu.”
Tapi sang Ayah adalah wakil Korea Utara di Jepang. Dan dia harus melindungi kedua anak laki-lakinya di sana.
“Itu sebabnya ayah saya tidak bisa berhenti begitu saja. Ibu saya mengirim banyak kardus berisi pakaian, buku, beras, obat-obatan dan semuanya, supaya mereka bisa menjalankan kehidupan sehari-harinya.”
Sebagai pembuat film, Yang merasa bertanggung jawab untuk mengenang mereka yang diterlantarkan di Korea Utara, setelah menyadari kalau negeri itu jauh dari gambaran surga. Kata dia, ‘kita tidak bisa menutup mata saja atas kehidupan mereka.’
Yang senang karena filmnya membuka pikiran banyak penonton Asia.
“Mereka benar-benar membicarakan hal ini. Setelah mereka menonton film saya mereka mengatakan: Wow. Kami bisa bicarakan masalah ini. Ini tidak apa-apa? Saya seperti membuka pintu bagi mereka. Saya benci sekali dengan tabu itu.”