Bagikan:

Duta Besar Bali di Eropa

Made Agus Wardana adalah staf lokal KBRI Brussel, Belgia.

INDONESIA

Sabtu, 16 Mar 2013 00:08 WIB

Author

Ging Ginanjar

Duta Besar Bali di Eropa

Bali, Made Agus Wardana, Ging Ginanjar

Made Agus Wardana adalah staf lokal KBRI Brussel, Belgia.

Namun tugasnya tak sekadar di belakang meja - ia dijuluki sebagai duta kesenian Bali, yang menghadirkan musik dan tarian Pulau Dewata ke atas panggung internasional.

Made Agus Wardana sudah memimpin kelompok gamelan Bali Saling Asah selama 14 tahun.

Bagi dia ini lebih dari sekedar hobi.

Kelompok ini sering bepergian mengikuti berbagai festival internasional di seantero Eropa.

“Seni, khususnya gamelan itu memang sudah mendarah daging dalam diri saya. Hidup saya di situ. Rasa senang, bahagia hidup saya, dengan gamelan.“

Ia terakhir kali tampil di Festival Ogoh-Ogoh di Brugelette Belgia, awal Mei lalu.

 

Sebentar main gendang, tak lama kemudian memegang mikrofon memimpin acara, lalu memotret sana memotret sini.

Made Wardana menetap di Eropa sejak 1996, dikirim lewat suatu misi budaya yang diatur oleh kedutaan besar Indonesia.

Ia ditawari mengajar gamelan Bali di Brussel setelah KBRI Brussel kedatangan hibah seperangkat gamelan dari Gubernur Bali.

Pertama kali menghirup udara Eropa, awal Januari 1996 - salah satu bulan paling dingin di Belgia.

Untungnya jadwal segera padat. Mulai dari mengajarkan gamelan pada warga Belgia, membentuk grup gamelan KBRI serta tampil di berbagai perayaan.

Dua kali seminggu, ia mengajar gamelan di Amsterdam, Belanda, dan Cologne, Jerman.

Made menuturkan kesibukannya lah  yang memberinya banyak pengalaman hidup.

“Yang paling istimewa, adalah ketika mengajar gamelan dalam suatu workshop bersama anak-anak cacat. Itu tahun 2003 dan 2004, diikuti sekitar 15 orang, di sekolah St. Josef, Antwerpen. Mereka memainkan gamelan dengan keceriaan luar biasa. Walau secara fisik mereka melakukannya dengan susah, tetapi gerakan mereka menunjukkan mereka gembira memainkan gamelan. Saya bangga sekali. Kemudian juga ketika menarikan kecak, dengan kendala fisik seperti itu, tapi begitu bahagia mereka. Kebahagiaan yang datang dari dalam.”

Dua  tahun setelah mendarat di Brussel bersama keluarga dan sejumlah muridnya yang kebanyakan adalah orang Belgia, Made mendirikan kelompok musik Bali Sekehe Saling Asah.

Kelompok ini mendapat undangan tampil di berbagai acara budaya, tak hanya di Belgia, tapi juga di negara tetangga. 

 

Ia bercerita, ada suasana berkesenian yang berbeda, antara di Eropa, dan di kampung halamannya.

“Berkesenian di Bali dan di sini sangat berbeda. Di Bali kita sudah tahu lingkungan, agama, tradisi, sekeliling, mendorong kita jadi seniman yang tumbuh seperti itu. Di sini tantangannya beda. Di sini, orang berkesenian, misalnya dengan sangat menghargai waktu. Serta prinsip-prinsip profesionalisme. “

Made juga berkolaborasi bersama para musisi Eropa.

Ia menulis lagu berjudul titled “Dwi Smara” –  ia memainkan suling Bali tradisional bersama pemain cello asal Belgia.

Dwi Smara, artinya dua cinta-  kecintaanya pada tanah Bali yang melahirkannya, dan Eropa yang memberinya kehidupan berbeda.

“Saya hidup di Bali sejak lahir hingga umur 25 tahun. Lalu hidup di sini sekarang hampir 16 tahun. Lama-lama saya mencintai keduanya, Bali dengan kebudayaan dan kehidupannya yang sederhana, dan Eropa dengan peradaban yang berbeda. Maka saya buatkan sebuah komposisi suling untuk dimainkan bersama Cello, yang saya namakan Dwi Smara”

Made Wardana adalah anak bungsu dari 10 bersaudara.

Kampungnya, Pegok Sesetan, dikenal sebagai salah satu pusat Janger, teater tradisional Bali.

Ayah dan ibunya adalah seniman Janger: Ibunya penari, bapaknya penabuh gendang.

Dua dasawarsa lalu Made mendapat gelar pengendang terbaik se-Bali.

Setelah hidup di Eropa sekian lama, Made juga belajar memainkan alat musik lainnya seperti saksofon dan drum.

Empat tahun lalu, ia membentuk kelompok baru, bernama Amritha yang beraliran ethnicfussion.

Mereka antara lain pernah tampil di Bozar, sebuah kawasan budaya kontemporer terkenal di Brussel.

Dalam konser itu, mereka antara lain menampilkan “Taksu” karya Made Wardhana, yang diciptakan tahun 2008. 

Karena lahir dan dibesarkan dalam tradisi Bali yang kental, ia memastikan keluarganya meneruskan tradisi ini.

Made secara khusus mengajarkan gamelan dan tari Bali kepada anak-anaknya sejak dini.

“Pernah satu kali,  ini sangat istimewa rasanya, Museum Instrumen Musik Belgia menyelenggarakan Family Day. Kami sekeluarga berlima memainkan gamelan sederhana. Saya dan istri saya, dan semua anak saya, termasuk yang paling kecil, yang waktu itu masih baru berusia 4 tahun, juga kakak perempuannya, dan anak yang paling besar, saya sendiri main kendang. Sementara isteri saya menari.”

Made Wardana bangga dan sangat bahagia karena upayanya menanamkan budaya dan kesenian Bali pada anak-anaknya di Eropa, cukup berhasil.

Dan ia menuturkan akan terus bekerja bersama kelompok gamelan dan etnik fusionnya meski berada ribuan kilometer dari rumah.


Simak tulisan-tulisan pribadi Made Wardana di sini


Kirim pesan ke kami

Whatsapp
Komentar

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!

Kabar Baru Jam 7

Strategi Perempuan Pengemudi Ojol Mengatasi Cuaca Ekstrem (Bag.4)

Arab Saudi Bangun Taman Hiburan Bertema Minyak di Tengah Laut

Menguji Gagasan Pangan Cawapres

Mahfud MD akan Mundur dari Menkopolhukam, Jokowi: Saya Sangat Hargai

Most Popular / Trending