Bagikan:

Menuju Penutupan Dolly

Tahun depan, Walikota Surabaya Tri Risma Harini berencana menutup lokalisasi Gang Dolly. Di lokasi seluas 150 meter persegi itu, ada 4 RW dengan 55 wisma yang dihuni lebih dari 500 pekerja seks.

EDITORIAL

Selasa, 17 Des 2013 11:05 WIB

Author

KBR68H

Menuju Penutupan Dolly

dolly, pekerja seks, Tri Risma Harini

Tahun depan, Walikota Surabaya Tri Risma Harini berencana menutup lokalisasi Gang Dolly. Di lokasi seluas 150 meter persegi itu, ada 4 RW dengan 55 wisma yang dihuni lebih dari 500 pekerja seks. Itu baru di Gang Dolly saja. Jika digabung dengan jumlah pekerja seks di lokalisasi Jarak, totalnya mencapai lebih 2,000 orang.

Banyak yang pesimistis, mengingat rencana penutupan Dolly sudah ada sejak 15 tahun lalu. Pemkot Surabaya pun mengaku harus mempertimbangkan aspek keamanan jelang Pemilu tahun depan untuk menutup Dolly. Juga kepastian dana kompensasi untuk menutup lokalisasi. Namun Pemkot mengaku terus mempersiapkan penutupan lokalisasi dengan menyediakan balai latihan kerja dan menciptakan lapangan kerja baru.

Di masa mendatang, kawasan Dolly akan diubah menjadi pusat perdagangan dan usaha, taman, fasilitas olahraga dan pelengkap lainnya. Namun, persoalan sosial juga mengintai penutupan lokalisasi. Misalnya, soal pekerjaan yang bakal dilakoni bekas pekerja seks dan mucikarinya. Atau penyebaran HIV/Aids yang bisa jadi makin tak terkendali.

Dalam sebuah acara TV, Menteri Kesehatan Nafsiah Mboi sempat bercerita soal keputusannya menutup lokalisasi Karang Dempel di NTT. Ketika itu, pemuka agama yang meminta, ketika Nafsiah menjadi istri Gubernur NTT. Lantas dua hari setelahnya, pelaut yang biasa jadi pelanggan lokalisasi tersebut mengamuk begitu tahu tempat mereka membeli seks sudah tutup. Mereka mengamuk, memperkosa ibu-ibu dan anak perempuan yang tinggal di sekitar lokalisasi.

Pesannya jelas: tak mudah menutup sebuah lokalisasi. Ada begitu banyak faktor yang dihitung. Yang perlu dihitung tak hanya warga yang disebut resah karena kehadiran lokalisasi. Tapi juga pekerja seks yang mencari makan di sana.

Dolly jelas bukan satu-satunya lokalisasi yang ada di negeri ini. Sejumlah lokalisasi lainnya sudah ditutup – seperti Kramat Tunggak di Jakarta dan Saritem di Bandung. Begitu lokalisasi ditutup, praktik prostitusi tak berhenti namun justru menyebar ke tempat-tempat yang semula tak mereka sambangi. Warung remang-remang, bar, kafe dangdut, biliar, rumah bordil jadi sasaran baru. Artinya, bisnis seks dan penyebaran penyakit terus terjadi bahkan setelah lokalisasi ditutup – jika para pekerja seks tak diberi pekerjaan baru di luar bisnis seks ini.

Tanggal 17 Desember diperingati dunia sebagai Hari untuk Mengakhiri Kekerasan terhadap Pekerja Seks. Menutup lokalisasi tanpa menyiapkan jaring pengaman bagi mereka sama dengan melakukan kekerasan terhadap pekerja seks. Meski ada pembekalan pekerjaan baru sekali pun, tak bakal mudah bagi pekerja seks untuk memulai hidup baru -- dengan minimnya keterampilan serta stigma yang kadung melekat erat.

Walikota Surabaya mesti betul-betul berhitung dan berkaca pada apa yang terjadi di Jakarta dan Bandung pasca penutupan lokalisasi.Menutup lokalisasi bukanlah soal moral, tapi persoalan ekonomi dan sosial yang pelik di tengah masyarakat yang kemampuan ekonominya masih lemah. 

Kirim pesan ke kami

Whatsapp
Komentar

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!

Kabar Baru Jam 7

Strategi Perempuan Pengemudi Ojol Mengatasi Cuaca Ekstrem (Bag.4)

Arab Saudi Bangun Taman Hiburan Bertema Minyak di Tengah Laut

Menguji Gagasan Pangan Cawapres

Mahfud MD akan Mundur dari Menkopolhukam, Jokowi: Saya Sangat Hargai

Most Popular / Trending