DPR dan pemerintah tampaknya susah mencapai kata sepakat soal pemekaran. Jika pemerintah bersikukuh menghentikan sementara atau moratorium pemekaran wilayah, di sisi lain inisiatif terus muncul dari DPR.
Dari Senayan, wakil rakyat baru saja ketok palu RUU usulan inisiatif tentang Daerah Otonom Baru, dimana nantinya akan ada 65 daerah baru, yakni 8 propinsi dan sisanya kabupaten/kota. Padahal pemerintah masih adem ayem saja, dan belum berencana mencabut moratorium pemekaran yang diberlakukan sejak 2009 lalu itu.
DPR berdalih, banyaknya daerah yang dimekarkan itu untuk memperkokoh NKRI, mengembangkan potensi wilayah , memaksimalkan pembangunan di wilayah terpencil. Kesejahteraan rakyat selalu menjadi alasan utama, dibalik sikap ngotot DPR menyetujui usulan pemekaran daerah. Kita juga tak bisa tutup mata, masih banyak rakyat yang tak terurus di wilayah-wilayah terpencil. Buruknya pelayanan kesehatan dan pendidikan masih kita temui hingga saat ini.
Namun, apakah benar jika pemekaran menjadi jawaban atas segala permasalahan itu?
DPR harusnya menengok catatan kenapa pemerintah menghentikan upaya pemekaran wilayah, di mana banyak daerah yang gagal. Evaluasi Kementerian Dalam Negeri menunjukkan hanya dua dari 200 lebih daerah otonom baru yang memperoleh skor di atas 60 dari nilai tertinggi 100. Sementara sisanya mendapatkan raport merah.
Cita-cita pemekaran bahkan hanya menyuburkan konflik berkepanjangan dan perebutan kekuasaan. Pelayanan kepada masyarakat juga tak kunjung membaik. Tujuan utama pemekaran banyak disalahgunakan oleh kepentingan-kepentingan elit politik. Kementerian Sosial menyatakan pemekaran wilayah menjadi salah satu pemicu konflik yang menjadikan rasa aman mahal di negeri ini. Berbagai konflik sosial tersebut menyebabkan banyak kerugian, tidak hanya sarana dan prasarana fisik, tetapi juga merusak tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara.
Tak heran, jika Gubernur Papua, Lukas Enembe menolak pemekaran yang terkesan dipaksakan itu. Jika pemekaran itu lolos, maka di Bumi Cenderawasih bertambah menjadi Provinsi Papua Selatan, Papua Tengah, dan Papua Barat Daya. Padahal fakta di lapangan, pemekaran wilayah menjadi salah satu pemicu terjadinya konflik di daerah tersebut. Catatan Institut for Policy Analysis of Conflict, IPAC menyebut konflik yang terjadi biasaya karena pertikaian antar warga saat proses pemilihan kepala daerah.
Inilah yang menjadi pertanyaan, kenapa DPR dengan gampangnya mengamini usulan pemekaran. Apalagi masa tugas mereka hanya tinggal dalam hitungan bulan saja. Seharusnya para wakil rakyat ini menahan diri. Bukan hanya motif politik yang dikedepankan. Rasanya tak susah menyimpulkan bahwa keputusan pemekaran ini lebih karena kepentingan politik demi mencetak “penguasa-penguasa” baru.
Kita mendesak pemerintah berpegang teguh untuk melakukan moratorium. Jangan terbujuk dengan usulan DPR sebelum melakukan evaluasi menyeluruh. Jangan sampai pemekaran wilayah ini malah menjerumuskan rakyat, alih-alih membuat mereka sejahtera.
Stop Pemekaran Wilayah
DPR dan pemerintah tampaknya susah mencapai kata sepakat soal pemekaran. Jika pemerintah bersikukuh menghentikan sementara atau moratorium pemekaran wilayah, di sisi lain inisiatif terus muncul dari DPR.

EDITORIAL
Kamis, 31 Okt 2013 09:39 WIB


pemekaran wilayah, moratorium, nkri, papua
Kirim pesan ke kami
WhatsappRecent KBR Prime Podcast
Kabar Baru Jam 7
Strategi Perempuan Pengemudi Ojol Mengatasi Cuaca Ekstrem (Bag.4)
Arab Saudi Bangun Taman Hiburan Bertema Minyak di Tengah Laut
Menguji Gagasan Pangan Cawapres
Mahfud MD akan Mundur dari Menkopolhukam, Jokowi: Saya Sangat Hargai