Kabar gembira itu datang juga. Gubernur Jakarta Joko Widodo berjanji tak akan mengeluarkan lagi izin untuk membangun mal di Jakarta. Cukup sudah 173 mal yang ada sekarang. Alasan utamanya adalah pentingnya menjaga keseimbangan dalam pembangunan – bahwa ‘membangun’ tak melulu mesti diterjemahkan sebagai ‘belanja’. Dan membangun mal bukan pertanda kesuksesan pembangunan.
Di Jakarta, wilayah selatan ibukota tercatat sebagai kawasan dengan konsentrasi mal terbanyak. Sementara kalau dilihat dari ruas jalan, ruas jalan Casablanca punya sederet panjang mal, di kiri dan kanan jalan. Seorang pakar tata kota bahkan menyebut Jakarta sebagai kota dengan mal terbanyak di dunia.
Mal adalah ancaman utama bagi ruang terbuka hijau Jakarta. Ada banyak mal yang dibangun di atas wilayah yang mestinya jadi resapan air. Tanpa resapan air yang memadai, banjir akan terus mengintai Jakarta. Seharusnya kita bisa menghirup udara segar di taman, tapi kita digiring untuk menghirup udara berpendingin dalam mal.
Taman digusur, mal dibangun, dan warga pun dipaksa berinteraksi di balik tembok tinggi berpendingin udara. Berbagai acara dan kelompok bergegas memindahkan lokasi acara atau pertemuan ke mal, karena di situlah orang berkumpul dan berinteraksi. Kalau dilihat dari segi pragmatis, mal adalah simpul interaksi sosial warga. Tapi jika ditilik lebih jauh, sebetulnya mal lah yang menghancurkan interaksi sosial warga di ruang terbuka.
Mal juga erat kaitannya dengan kemacetan. Ketika mal dibangun, ada kemacetan ekstra. Begitu mal selesai dibangunan, kemacetan ekstra tak hilang, tapi justru bertambah. Dan kita semua tahu, macet artinya ada banyak karbondioksida melayang di udara, menambah sesak paru-paru jutaan warga yang hidup di Jakarta. Padahal yang dibutuhkan warga Jakarta agar bisa berumur panjang adalah udara segar.
Gagasan dan desakan untuk menghentikan pembangunan mal dan membuka lebih banyak ruang terbuka hijau sudah bergaung lama. Tapi banyak pejabat yang melihat mal sebagai penanda kesuksesan pembangunan. Bagi mereka, mal artinya ada investasi baru, lebih banyak uang beredar, transaksi jual-beli yang tinggi dan sebagainya. Izin pembangunan mal terus diteken, sementara wilayah Ruang Terbuka Hijau tak pernah maju dari angka 9 persen.
Pembangunan seolah-olah hanya berhenti di ukuran ekonomi -- bukan soal kenyamanan warga, yang ramah anak, yang mendorong interaksi sosial dan kreativitas warga dan sebagainya.
Mudah-mudahan moratorium mal ini tak sekadar janji manis. Dinas Tata Ruang Jakarta rupanya juga telah diminta mengkaji kebijakan moratorium pembangunan pusat perbelanjaan Jakarta. Setelah itu, baru Guburnur Jakarta Joko Widodo bisa mengambil keputusan.
Dan keputusan itu mudah-mudahan membuka ruang baru bagi taman publik dan kewarasan warga ibukota.
Stop Bangun Mal di Jakarta
Kabar gembira itu datang juga. Gubernur Jakarta Joko Widodo berjanji tak akan mengeluarkan lagi izin untuk membangun mal di Jakarta. Cukup sudah 173 mal yang ada sekarang.

EDITORIAL
Rabu, 18 Sep 2013 10:11 WIB

mall, jokowi, tata ruang
Kirim pesan ke kami
WhatsappRecent KBR Prime Podcast
Kabar Baru Jam 7
Strategi Perempuan Pengemudi Ojol Mengatasi Cuaca Ekstrem (Bag.4)
Arab Saudi Bangun Taman Hiburan Bertema Minyak di Tengah Laut
Menguji Gagasan Pangan Cawapres
Mahfud MD akan Mundur dari Menkopolhukam, Jokowi: Saya Sangat Hargai