Bekas Ketua Umum Partai Demokrat, Anas Urbaningrum, bersama para pengikutnya mendirikan organisasi masyarakat (ormas) baru. Namanya Pergerakan Indonesia (PI), mirip-mirip dengan nama organisasi pemuda pada masa penjajahan Belanda. Bahkan sama persis dengan organisasi yang didirikan Faisal Basri.
Tapi dalam peluncuran Rumah Pergerakan Indonesia hari Minggu (15/9), Anas buru-buru menjelaskan, PI bukanlah organisasi perlawanan. PI, menurut Anas, adalah gerakan untuk memajukan dan memuliakan kebudayaan. Gerakan untuk memajukan harmoni sosial dalam kemajemukan.
Tujuan dan misi yang bagus, bukan? Siapa pula yang tak setuju – apalagi jika melihat sengkarut masalah kebangsaan yang belakangan ini menggerogoti republik. Anas menegaskan, PI bukan sekadar gerakan politik, melainkan sebuah gerakan yang fokus memajukan kemanusiaan melalui pendekatan kultural.
Bukan sekadar gerakan politik? Bukan gerakan perlawanan?
Untuk dua posisi pernyataan ini, jelas kami ragu. Anas, sejak mahasiswa sudah aktif di dunia politik. Karier politiknya mulai moncer ketika ia memimpin Gerakan Mahasiswa Islam (HMI). Dari Surabaya, ia hijrah ke Jakarta. Karena kepintarannya berkomunikasi dan jaringan yang cukup luas, ia bisa duduk sebagai anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU).
Tapi kursi KPU tak lama ia duduki, cuma sekitar 1,5 tahun. Anas lantas keluar sebelum tugasnya berakhir karena ia lebih memilih menjadi pengurus Partai Demokrat. Tampaknya Anas memang punya tujuan politik jangka panjang. Dalam Kongres Partai Demokrat di Bandung Mei 2010, Anas berhasil mengalahkan saingan terkuat yang didukung SBY, Andi Mallarangeng.
Belakangan, melalui pengakuan bekas bendahara Partai Demokrat yang ditangkap KPK, M Nazaruddin, Kongres Partai Demokrat yang dimenangi Anas tak lepas dari gelontoran politik uang.
Sesungguhnya kala itu banyak orang berharap pada sosok Anas. Dia adalah politisi muda yang cemerlang, santun dengan tutur kata yang runtut dan teratur. Posisinya sebagai ketua umum sebuah partai besar menempatkan Anas sebagai the rising star, bintang baru yang gemerlap. Kekayaannya pun bertambah cukup signifikan – apalagi jika dibandingkan semasa ia mahasiswa.
Tapi justru gemerlap dunia politik dan gelimang harta kekayaan ini yang membuat Anas terjungkal pada usia muda. KPK mencokoknya sebagai tersangka skandal megaproyek Hambalang. Sorotan dan desakan dari dalam dan luar partai akhirnya memaksa Anas mundur dari jabatannya sebagai Ketua Umum Partai Demokrat.
Bintang baru yang melesat itu tiba-tiba jatuh meredup. Pembuktian di pengadilan untuk menetapkan Anas bersalah atau tidak memang belum terjadi. Tapi kami percaya, KPK tentu tak gegabah ketika menetapkan seseorang layak menjadi tersangka atau tidak. KPK pasti memiliki bukti-bukti kuat.
Anas memang sudah jatuh. Tapi ia belum benar-benar tersungkur. Naluri politiknya belum padam. Melalui Pergerakan Indonesia, ia tampaknya hendak bangkit kembali. Status tersangka tak menghalangi geraknya untuk mendirikan ormas.
Namun apakah betul, PI bukan sekadar gerakan politik yang akan ia gunakan untuk melawan kasus yang menjeratnya, hanya waktu yang bakal bicara.