Partai Hanura sudah mendeklarasikan pasangan capres dan cawapresnya yaitu Wiranto dan Harry Tanoe. Tidak ada yang salah dengan deklarasi tersebut. Hanura bukan parpol pertama yang mendeklarasikan capresnya. Partai Golkar sudah lebih dulu mengusung Ketua Umum Aburizal Bakrie sebagai calon RI-1. Yang justru mencuat setelah proses deklarasi itu adalah isu pemanfaatan media oleh partai politik.
Ketika Wiranto dan Harry Tanoe mendeklarasikan diri, acara tersebut disiarkan langsung oleh salah satu televisi jaringan MNC. Kita semua tahu, Harry Tanoe adalah pemilik kelompok MNC. Tapi Harry Tanoe bukan satu-satunya pemilik media yang terjun ke dunia politik. Surya Paloh, pemilik MetroTV adalah pendiri partai Nasional Demokrat, dan Aburizal Bakrie yang merupakan Ketua Umum Golkar adalah pemilik ANTV, TVOne dan Vivanews. Semua memanfaatkan media miliknya,terutama televisi, untuk kepentingan kampanye mereka sendiri.
Banyaknya pemilik media terjun ke dunia politik tentu dikhawatirkan bisa mempengaruhi independensi ruang redaksi yang bersangkutan. Kita sudah bisa melihat bagaimana TVOne memberitakan kasus lumpur Lapindo lalu MetroTV menginformasikan seputar NasDem. Ada keberpihakan dalam pemberitaan itu. Apa jadinya kalau pemilu 2014 juga diwarnai dengan keberpihakan media kepada salah satu peserta pemilu presiden?
Untuk menjaga media tidak disalahgunakan partai politik, harus ada pengawasan yang ekstra ketat. Bukan saja oleh Badan Pengawas Pemilu, tetapi juga oleh seluruh lapisan masyarakat. Mulai dari kelompok sipil, akademisi dan juga partai politik itu sendiri. Media adalah pilar keempat demokrasi. Sebagai salah satu pilar demokrasi, media tentu tidak boleh tercemar oleh politik. Ruang kerja media harus steril dari intervensi siapa pun, termasuk pemilik.
Himbauan juga kita sampaikan kepada pemilik media yang terjun ke dunia politik. Jangan menggunakan media miliknya untuk kepentingan pribadi. Apabila MNC memberitakan seputar capres Wiranto-Harry Tanoe, maka hal yang sama juga harus diberikan kepada capres lainnya. Begitu juga dalam urusan iklan. Tidak boleh ada calon yang mendapatkan porsi iklan yang lebih banyak dibandingkan calon lain. Ini berlaku pula bagi media di bawah grup Bakrie dan Surya Paloh.
Tapi himbauan saja tentu tidak cukup. Harus ada aturan yang menjadi rujukan bersama.
Di sinilah peran KPI, Dewan Pers dan juga Bawaslu serta KPU untuk membuat rambu-rambu. Yang paling penting, aturan yang dibuat juga harus mencantumkan sanksi. Aturan tanpa sanksi ibarat auman macan ompong. Salah satu fungsi media adalah memberikan informasi yang obyektif. Obyektivitas ini yang harus terus dijaga. Terjun ke dunia politik adalah hak seluruh warga negara. Akan tetapi, pemilik media tentu tidak bisa seenaknya menggunakan media miliknya itu untuk kepentingan pribadi. Apalagi jika itu menyangkut media penyiaran yang frekuensi merupakan domain publik.
Prinsip-prinsip keberimbangan, non-partisan, independen, apalagi selama pemilihan umum, tak boleh dilanggar. Kepentingan publik atas informasi yang objektif tak boleh kalah oleh kepentingan politik para pemilik.
Media Bukan Alat Propaganda Parpol
Partai Hanura sudah mendeklarasikan pasangan capres dan cawapresnya yaitu Wiranto dan Harry Tanoe. Tidak ada yang salah dengan deklarasi tersebut. Hanura bukan parpol pertama yang mendeklarasikan capresnya. Partai Golkar sudah lebih dulu mengusung Ketua U

EDITORIAL
Jumat, 05 Jul 2013 10:08 WIB


media, parpol, propaganda, hanura
Kirim pesan ke kami
WhatsappRecent KBR Prime Podcast
Kabar Baru Jam 7
Strategi Perempuan Pengemudi Ojol Mengatasi Cuaca Ekstrem (Bag.4)
Arab Saudi Bangun Taman Hiburan Bertema Minyak di Tengah Laut
Menguji Gagasan Pangan Cawapres
Mahfud MD akan Mundur dari Menkopolhukam, Jokowi: Saya Sangat Hargai