Ratusan ribu buruh rencananya akan menggelar aksi serentak di ratusan kabupaten/kota. Aksi dalam rangka peringatan hari buruh 1 Mei itu mengusung sejumlah agenda. Dari mulai mendesak revisi Peraturan Pemerintah tentang pengupahan, diskriminasi buruh perempuan, pemenuhan hak, sampai dukungan pada salah satu calon presiden tertentu. Sah-sah saja apapun agenda yang diusung oleh sejumlah organisasi para pekerja itu.
Untuk aksi kali ini, di ibu kota kepolisian menyiagakan puluhan ribu personil. Mabes Polri memastikan tak ada peningkatan status keamanan. Alasannya mengikuti konsepsi pemerintah Mayday is Funday. Kata pejabat di kepolisian slogan itu berarti memfasilitasi dan mengamankan hari buruh untuk bersenang-senang.
Konsepsi pemerintah itu menuai penolakan. Bagi organisasi para buruh, konsepsi itu seperti ingin membelokkan sejarah. Bagi mereka, slogan itu bisa digunakan bila nasib jutaan pekerja itu sudah sejahtera. Sejahtera tanpa eksploitasi dan penindasan. Itulah yang diperjuangkan buruh pada seratusan tahun silam, memangkas jam kerja dari 20 jam menjadi 8 jam kerja.
Karena waktu hanya terdiri dari 24 jam, maka tuntutan buruh kala itu, pembagiannya adalah 8 jam bekerja, 8 jam istirahat, dan 8 jam rekreasi. Masihkah angka itu relevan? Gaji setara upah minimum yang tak sesuai dengan kebutuhan hidup membuat banyak buruh pabrik terpaksa lembur untuk menambah pendapatan. Efeknya, tentu berkurang pula jam untuk istirahat dan rekreasi. Ini artinya, apa yang diperjuangkan para buruh pada seratusan tahun silam masih relevan. Kesejahteraan lahir dan batin bagi para buruh.