Basuki Wasis tidak pernah mengira ia bakal diperkarakan
sebagai akademisi. Dia adalah saksi yang diminta KPK dalam perkara suap
penerbitan izin pertambangan nikel untuk terdakwa Nur Alam, Maret lalu. Kala
itu hakim memvonis Nur Alam 12 tahun penjara dan denda Rp 1,2 miliar. Bekas
Gubernur Sulawesi Tenggara itu terbukti bersalah menerima suap hingga merugikan
negara Rp 1,5 triliun.
Vonis ini lebih rendah dari tuntutan jaksa KPK yang menuntut Nur Alam 18 tahun
penjara. Ini lantaran kerugian negara yang dihitung mencapai total Rp 4,3 Triliun.
Angka itu didapat dari perhitungan yang
dilakukan BPKP sebesar Rp1,5 Triliun ditambah kerugian dampak lingkungan yang
dihitung Basuki sebesar Rp 2,7 Triliun.
Dia tentu tak asal jeplak. Sebagai akademisi Basuki paham
metode menghitung nilai kerugian akibat kerusakan tanah dan lingkungan dari
penambangan nikel. Apalagi ini pun bukan kali pertama Basuki menaksir kerugian
negara dalam kasus korupsi yang menyebabkan kerusakan lingkungan.
Tak terima, Nur Alam lantas menggugat Basuki, juga tim laporan perhitungan
kerugian dan IPB. Dia menuntut ganti rugi materiil Rp 1,7 miliar dan kerugian
immateril sebesar Rp 3 triliun di Pengadilan Negeri Cibinong. Ini aneh, sebab angka kerugian yang diprediksi
Basuki bukan lah yang diperhitungkan hakim kala memvonis Nur Alam. Namun begitu
Nur Alam tetap merasa perlu bikin perhitungan terhadap Basuki yang dinilainya berlebihan
menghitung dampak kerusakan lingkungan.
Menurut Undang-undang, saksi, korban dan laporan tidak dapat dituntut secara
hukum, pidana maupun perdata. Namun gugatan yang dilayangkan Nur Alam bisa
menciutkan nyali para akademisi untuk bersaksi di persidangan. Apalagi
menurut pengakuan Basuki, dirinya kerap diancam dibunuh hingga harus dijaga
polisi ketika menjadi saksi ahli. Kita mendorong pemerintah bersungguh-sungguh
memberi perlindungan hukum bagi saksi, terlebih jika koruptor macam Nur Alam
mulai berani melawan balik.