Iqbal yang tertidur dengan luka, belum mendengar sajak Chairil Anwar ini: antara/ daun-daun hijau/ padang lapang dan terang/ anak-anak kecil tidak bersalah, baru bisa lari-larian/ burung-burung merdu/ hujan segar dan menyebur...
Iqbal baru berumur 3,5 tahun. Dan tubuhnya tengah gagal merespon apapun. Tangan kirinya patah, tubuhnya berbalut luka bakar, dadanya bertanda luka tusuk dari paku panas, dan—menurut dokter—buah zakarnya pecah. Kelaminnya dilukai.
Iqbal yang baru berumur 3,5 tahun, sudah mencari nafkah buat orang dewasa. Ia dipaksa mengamen oleh penculiknya, orang yang pernah menjadi pacar ibunya, dan harus mendapat uang paling sedikit Rp 40 ribu per hari. Kurang dari empat puluh ribu, bocah yang mestinya dijejali gizi malah ditangani dengan keji. Iqbal dipukuli. Dokter menemukan kerusakan pada bagian otak kiri balita itu akibat pukulan benda tumpul.
Iqbal tak berada di daun-daun hijau, padang lapang dan terang, berlari-lari bersama sebaya, laiknya anak-anak yang belum kenal dan belum pernah bersalah. Barangkali bila terbangun, ia pun belum bisa berbicara atau menyanyi seadanya seperti biasaLidahnya sempat dipotong oleh si penculik.
Kami tak bermaksud menghadirkan kesadisan di ruang nyaman Anda. Tapi, siapa bisa menahan diri mendengar seorang anak kecil, di bawah lima tahun, disiksa secara sadis hanya karena ia buang air besar. Berak. Manusia mana yang tak pernah buang air besar? Anak-anak mana yang tak pernah berak sembarangan? Apakah si penyiksa sedari kecil sudah kenal cara berak? Dan hasil dari berak, ya pasti bau. Lalu apa masalah dengan itu semua sehingga Dadang, si orang dewasa itu, merasa sah untuk menghancurkan fisik si balita?
Dokter tengah bekerja keras menyelamatkan anak itu. Polisi telah menangkap dan menyidik pelakunya. Tapi bisakah kita taklid pada pertanyaan berikut: bisakah kita memeriksa diri jangan-jangan kita yang menyediakan kesempatan kemunculan orang seperti Dadang? Memberi kesempatan mereka muncul karena kita gampang menyelesaikan masalah kemiskinan dengan sumbangan di jalan. Karena kita tak segera melaporkan ke polisi terdekat ketika ada orang dewasa yang mengemis membawa anak-anak, tapi malah memberikan uang, konon karena perintah agama. Dan polisi di jalan raya tak bergerak pada pemandangan sehari-hari itu karena memang dianggapnya itu biasa sehari-hari.
Bisakah? Tak inginkah kita melihat anak-anak berada di “antara daun-daun hijau, padang lapang dan terang” seperti sajak Chairil buat Gadis Rasid itu?
Iqbal
Iqbal yang tertidur dengan luka, belum mendengar sajak Chairil Anwar ini: antara/ daun-daun hijau/ padang lapang dan terang/ anak-anak kecil tidak bersalah, baru bisa lari-larian/ burung-burung merdu/ hujan segar dan menyebur...

EDITORIAL
Jumat, 21 Mar 2014 09:55 WIB

iqbal, Chairil Anwar, Gadis Rasid
Kirim pesan ke kami
WhatsappRecent KBR Prime Podcast
Kabar Baru Jam 7
Strategi Perempuan Pengemudi Ojol Mengatasi Cuaca Ekstrem (Bag.4)
Arab Saudi Bangun Taman Hiburan Bertema Minyak di Tengah Laut
Menguji Gagasan Pangan Cawapres
Mahfud MD akan Mundur dari Menkopolhukam, Jokowi: Saya Sangat Hargai