Nurmila Sariwahyuni kehilangan jabang bayinya akhir pekan lalu. Dia keguguran setelah dipukul dan perutnya diinjak oleh preman dan Kepala Desa Rantau Panjang di Paser, Kalimantan Timur. Saat itu Nurmila tengah meliput kasus sengketa tanah di sana. Dia sudah menunjukkan identitasnya sebagai wartawan, tapi tetap saja bogem terus melayang dan kaki disepakkan.
Pemerintah Kabupaten Paser segera mencopot pejabat desa yang diduga terlibat kasus penganiayaan tersebut. Juga, memberhentikan kepala desa yang diduga ikut memukuli Nurmila. Sang kepala desa kini dikenakan pasal KUHP tentang pengeroyokan dan penganiayaan dengan ancaman 5 tahun penjara. Memang ada yang menyebut, Nurmila adalah anak dari pemilik tanah yang bersengketa. Tapi kalau pun ini benar, fakta itu sama sekali tak bisa dipakai untuk meringankan hukuman bagi para penganiaya.
Tiga organisasi wartawan sejak akhir Desember lalu sudah membentuk Satgas Penanganan Kekerasan terhadap Wartawan. Ketiga organisasi itu adalah PWI, Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia dan Aliansi Jurnalis Independen. Satgas inilah yang akan mendampingi wartawan, termasuk Nurmila, yang jadi korban kekerasan sampai ke ranah hukum. Satgas juga diharapkan bisa mencegah perusahaan media yang ingin berdamai dengan pelaku kekerasan demi menjaga kelangsungan bisnis. Ringkasnya, Satgas ingin melindungi wartawan ketika melakukan tugasnya.
Untuk kasus Nurmila, juga kasus kekerasan terhadap wartawan lainnya, yang akan dipakai adalah Undang-undang Pidana, bukan Undang-undang Pers. Selama ini jika yang dipakai adalah Undang-undang Pers, maka tak ada efek jera yang timbul karena hukumannya hanya 2 tahun. Apalagi, kekerasan yang dialami Nurmila sampai menyebabkan keguguran dan kematian bayi dalam kandungan.
Catatan akhir tahun LBH Pers pada 2012 menyebutkan kalau jumlah kekerasan terhadap wartawan meningkat dibandingkan tahun sebelumnya. Yang paling banyak melakukan kekerasan adalah aparat pemerintah, baru polisi dan tentara. Bentuknya macam-macam: penganiayaan, pemukulan, pelemparan atau pengeroyokan. Kekerasan fisik dan non-fisik terhadap wartawan tahun lalu total mencapai 100 kasus.
Tren kekerasan terhadap wartawan cenderung meningkat dari tahun ke tahun. Tahun ini saja, ketika baru dua bulan berlalu, sudah terjadi 10 kasus kekerasan. Tahun ini dan tahun berikutnya bakal jadi tahun politik yang sangat berat jelang Pemilu 2014. Ada banyak agenda politik sarat kepentingan yang mewarnai hari-hari mendatang. Kepentingan politik bisa menghalalkan segala cara, termasuk melakukan kekerasan terhadap wartawan.
Butuh keteguhan hati si wartawan untuk terus menjalankan tugasnya sebagai pewarta, memberikan sajian informasi yang independen bagi masyarakat. Karena itu adalah esensi dari tugas jurnalistik yang sesungguhnya. Organisasi media juga harus serius dalam menjaga keselamatan pekerjanya di lapangan. Dengan memidanakan para pelaku kekerasan terhadap wartawan, efek jera diharapkan bisa betul-betul muncul, sehingga kekerasan terhadap wartawan tak sekadar berujung pada kecaman.
Melindungi Pewarta
Nurmila Sariwahyuni kehilangan jabang bayinya akhir pekan lalu. Dia keguguran setelah dipukul dan perutnya diinjak oleh preman dan Kepala Desa Rantau Panjang di Paser, Kalimantan Timur. Saat itu Nurmila tengah meliput kasus sengketa tanah di sana. Dia sud

EDITORIAL
Rabu, 06 Mar 2013 09:52 WIB

pewarta, nurmila sariwahyuni, paser
Kirim pesan ke kami
WhatsappRecent KBR Prime Podcast
Kabar Baru Jam 7
Strategi Perempuan Pengemudi Ojol Mengatasi Cuaca Ekstrem (Bag.4)
Arab Saudi Bangun Taman Hiburan Bertema Minyak di Tengah Laut
Menguji Gagasan Pangan Cawapres
Mahfud MD akan Mundur dari Menkopolhukam, Jokowi: Saya Sangat Hargai