“Ingatlah, bahwa dari dalam kubur, suara saya akan lebih keras daripada dari atas bumi!”.
Kata-kata Tan Malaka itu seakan muncul kembali dari dalam bumi, suaranya menggelegar, dan membuat jirih para gerombolan yang datang membubabrkan sebuah diskusi buku. Para aparat keamanan yang semestinya memberi perlindungan bagi kebebasan berkumpul dan berpendapat, justru tampak gentar -- mungkin bukan kepada gerombolan yang mengatasnamakan kelompok Islam, melainkan kepada bayangan mereka sendiri.
Nama Tan Malaka tampaknya masih menjadi magnet bagi mereka yang ingin terus mengali berbagai ide dan pemikirannya tentang pembebasan dan perjuangan melawan penindasan. Tapi pada saat yang sama Tan Malaka juga tetap menjadi momok bagi mereka yang hanya tahu cara membungkam suara-suara yang beda. Tan Malaka adalah hantu bagi setiap kebodohan, monster bagi para para manusia yang malas menggunakan otaknya untuk berpikir.
“Seorang pahlawan lahir di antara seratus orang, orang bijak dapat ditemukan di antara seribu orang, tetapi orang yang cakap mungkin tidak dapat ditemukan bahkan di antara seratus ribu orang,” ujar Plato, filus Yunani, murid Socrates. Plato benar. Betapa langka orang cakap dan berkepandaian yang lahir di negeri ini, karena yang banyak diproduksi justru para demagog bebal yang membenci ilmu pengetahuan.
Tan Malaka adalah seorang intelektual pejuang pra kemerdekaan yang sosoknya paling misterius, sekaligus kontroversial, di antara para tokoh pejuang kemerdekaan yang lain. Tokoh bernama lengkap Ibrahim Gelar Datuk Sutan Malaka ini lahir di Sumatera Barat pada Juni 1897 dalam lingkungan tradisi keislaman yang kuat.
Tak Malaka tergolong murid pintar di sekolah. Dengan cepat ia menguasai bahasa Belanda. Pada usia 16 tahun, ia sudah harus pergi ke negeri penjajahnya di Belanda, menjadi murid sekolah pendidikan guru. Di negeri inilah ia mulai membaca banyak buku-buku kiri, terutama karya-karya Karl Marx, Engels dan Lenin – meskipun kelak ia lebih dikenal sebagai penganut Trotsky, bahkan dicap sebagai pengkhianat Marxisme-Leninisme.
Lulus sekolah ia kembali ke tanah air dan menjadi guru bagi anak-anak kuli di perkebunan teh milik Belanda. Dari sinilah ia mulai mengidentifikasi penderitaan para pribumi akibat eksploitasi kolonialisme. Ia pun bergerak mengikuti garis ideologinya sembari tetap menulis buku. Beberapa di antara karya-karyanya yang penting adalah Naar de 'Repubpliek Indonesia (Menuju Republik Indonesia, 1925), Aksi Massa (1926), Madilog (1943), dan Dari Penjara ke Penjara (1948).
Tapi Tan Malaka adalah seorang pejuang yang tragis. Ia dimusuhi agen-agen komunis internasional, ia pun menjadi target incaran intelijen Belanda dan tentara Jepang. Penjara Belanda dan penjara Jepang sudah pernah ia rasakan. Pun ketika Indonesia sudah merdeka, di bawah pemerintahan Soekarno-Hatta, penjara pula yang ia dapatkan. Puncak nasibnya yang tragis terjadi pada 21 Februari 1949. Tokoh pejuang yang sangat mencintai bangsanya ini tewas justru karena dieksekusi tentara Indonesia sendiri.
Presiden Soekarno lantas menetapkan Tan Malaka sebagai pahlawan nasional pada tahun 1963. Tapi jejak, riwayat, dan pemikirannya digelapkan sepanjang pemerintahan Orde Baru. Dan celakanya, sebagian kelompok masyarakat yang buta terhadap sejarah, tetap menginginkan sosok pejuang ini terkubur selamanya dari sejarah republik. Mereka terus memburu Tan Malaka. Untuk dibunuh. Ia, Tan Malaka, memang sudah dibunuh berkali-kali!
"Pembunuhan" terakhir terjadi di Surabaya pekan lalu. Pembubaran diskusi itu telah menambah catatan buruk tentang bangsa kita: bangsa yang tak mampu menghargai pahlawannya.
Tan Malaka dan Bangsa yang Tak Mampu Hargai Pahlawannya
Puncak nasibnya yang tragis terjadi pada 21 Februari 1949. Tokoh pejuang yang sangat mencintai bangsanya ini tewas justru karena dieksekusi tentara Indonesia sendiri.

EDITORIAL
Minggu, 09 Feb 2014 09:59 WIB


Tan Malaka, Madilog, Dari Penjara ke Panjara, dilarang Orde Baru, pahlawan nasional
Kirim pesan ke kami
WhatsappRecent KBR Prime Podcast
Kabar Baru Jam 7
Strategi Perempuan Pengemudi Ojol Mengatasi Cuaca Ekstrem (Bag.4)
Arab Saudi Bangun Taman Hiburan Bertema Minyak di Tengah Laut
Menguji Gagasan Pangan Cawapres
Mahfud MD akan Mundur dari Menkopolhukam, Jokowi: Saya Sangat Hargai