Isabelinha Pinto duduk di hadapan hadirin dan mulai bercerita. Pada 1979, ia diadopsi oleh tentara Indonesia. Di surat adopsi, ada tanda tangan petinggi TNI. Begitu tiba di Indonesia, dia langsung putus kontak dengan keluarganya di Timor Leste.
Selama itu pula, Isabelinha bertanya-tanya soal identitas dan nasib keluarga mereka. Keluarga barunya di Indonesia tak membolehkan ia bertanya apa pun soal Timor Leste. Tapi di dalam hati ia merasa kalau dia harus melakukan sesuatu. Tiga puluh tahun kemudian, baru cita-citanya terwujud: bertemu kembali dengan keluarga.
Ini mungkin episode yang tidak banyak orang tahu soal Timor Timur saat masih jadi bagian Indonesia. Bahwa ada ribuan anak Timor Leste yang dibawa ke Indonesia, seperti Isabelinha. Kisahnya tak melulu sama -- ada yang dibawa tentara, polisi, atau bahkan orang Indonesia biasa yang kebetulan saat itu bekerja di Timor timur. Tapi satu hal yang sama: anak-anak Timor Leste itu dipisahkan dari keluarga mereka.
Vitor da Costa adalah contoh lainnya. Dia dibawa ke Indonesia oleh seorang kontraktor Indonesia yang bekerja di Timor Timur. Sejak itu ia terpisah dengan keluarga kandungnya. Berbeda dengan Isabelinha, orangtua angkat Vitor tak pernah menutupi fakta kalau Vitor anak Timor. Ketika Vitor berusia 30-an tahun, baru ia menjejakkan kaki ke tanah airnya -- tanpa petunjuk apa pun soal di mana keluarganya berada. Dengan bantuan kiri kanan, ia akhirnya tiba di tanah kelahirannya.
Tapi apa nyana, yang ditemukan justru kuburan dengan nama dirinya. Rupanya keluarga kandung sudah menganggap Vitor hilang dan mati. Vitor harus melewati upacara tradisional untuk "menghidupkan" kembali dirinya, baru bisa diterima lagi oleh keluarga kandung.
Vitor kini memimpin Ikatan untuk Orang Hilang, IKOHI, di Jakarta, dan mencoba mengumpulkan kembali anak-anak Timor Leste yang terpisah dari keluarga, seperti dia.
Kisah inilah yang diangkat peneliti Helene van Klinken dalam bukunya "Anak-anak Tim-Tim di Indonesia". Menurut penelitian Helene, saat bekerja di Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi di Dili, ada sekitar 4000an anak yang dibawa dari Timor Leste ke Indonesia. Sekitar separuhnya dibawa oleh tentara. Ada yang dibawa langsung begitu saja, ada juga yang menandatangani surat.
Saat itu kebanyakan keluarga tak berdaya dan melepas anak mereka pergi. Dengan kondisi Timor Timur yang miskin, orangtua berharap betul pada janji pendidikan yang lebih baik bagi anak mereka.
Satu hal yang mereka tidak sadari: itu bisa jadi hari terakhir berjumpa anak mereka.
Lewat buku ini, Helene membuka tabir sejarah yang belum tentu banyak orang tahu soal Timor Leste. Kita tahu bahwa Timor Timur dulu provinsi ke-27 Indonesia. Kita tahu kalau ada jajak pendapat 1999 yang memutuskan Timor Timur tak lagi jadi bagian Indonesia. Kita tahu juga ada kekerasan dan konflik berdarah di sana. Tapi rasanya tak ada buku sejarah yang menyebut kalau ada anak-anak Timor Leste yang dibawa ke Indonesia. Tak ubahnya apa yang dialami anak-anak Aborigin di Australia.
Komnas HAM Indonesia dan Timor Leste sudah memiliki MoU untuk bersama-sama mencari anak-anak Timor Leste yang hilang itu. Ada juga upaya sporadis yang dilakukan lembaga lain seperti IKOHI.
Seharusnya di sini negara masuk dan bertindak -- karena bagaimana pun juga, sebagian pelaku pengambilan anak-anak Timor Leste ini adalah aparat negara. Salah satu lembaga yang disebut Helene pun adalah Yayasan Dharmais, yang berkaitan dengan bekas Presiden Suharto.
Tapi lagi-lagi, negara belum turun tangan. Mungkin ini dianggap masalah sepele jika dibandingkan dengan pengelolaan aset Indonesia di tanah Timor Leste, misalnya. Tapi anak-anak ini, yang sebagian besar sudah tumbuh dewasa, punya hak untuk tahu siapa keluarga mereka yang sebenarnya. Kedua negara, Indonesia dan Timor Leste, mesti turun tangan untuk memenuhi hak anak-anak ini, karena negara lah yang menyebabkan mereka kehilangan keluarga.
Dan masih ada banyak keluarga di Timor Leste yang kehilangan dan terus mencari keluarga mereka yang dibawa pergi ke Indonesia.
Baca juga: