Siapa menguasai media, dialah yang menjadi raja atau penguasa. Para pengusaha televisi yang terjun ke dunia politik memahami betul ungkapan klasik itu. Frekuensi penyiaran sebagai ranah publik diselewengkan untuk kepentingan politik jangka pendek. Ruang redaksi yang idealnya bebas dari kepentingan pemilik televisi atau pemilik modal pun ikut terkontaminasi. Dengan kekuatan yang dimiliki, mereka bisa mendikte pemirsa atau konsumen media untuk menyimak berita, iklan sampai kuis berbau kampanye.
Atas alasan itu Kamis (16/1) lusa sejumlah lembaga yang tergabung dalam "Frekuensi Milik Publik" akan menggelar aksi di Bundaran Hotel Indonesia, Jakarta dan berlanjut ke kantor Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat. Di sana akan diserahkan petisi “KPI, Bekerjalah! Hukum stasiun TV Pengabdi Parpol!” yang didukung lebih dari 3,000 orang.
Kita tahu, sejumlah televisi swasta di tanah air dimiliki pengusaha sekaligus politikus yang memimpin partai politik. Mereka adalah Surya Paloh, Ketua Umum Partai NasDem, pemilik Metro TV. Aburizal Bakrie sang Ketua Umum Partai Golkar punya TV One dan AN-TV. Sedangkan politikus Partai Hanura, Hary Tanoesoedijo yang berambisi maju bersama Wiranto sebagai calon presiden dan wakil presiden menguasai RCTI, MNC-TV dan Global TV.
Jelang Pemilu yang tinggal 3 bulan, para pemilik stasiun TV yang sebagian besar petinggi partai politik akan jor-joran menggunakan medianya untuk kepentingan pribadi dan kelompok. Mereka seperti tak sadar tengah bersiaran menggunakan frekuensi milik publik. Situasi itu diperburuk dengan lemahnya kinerja lembaga regulator pengawas isi siaran, KPI.
Publik jelas dirugikan karena hanya akan mendapat informasi yang berat sebelah. Mengutip Koalisi Independen untuk Demokratisasi Penyiaran (KIDP), media yang tidak independen sebenarnya tidak hanya merusak dirinya sendiri, tapi juga merusak akal sehat dalam kehidupan negara demokrasi. Alih-alih mendewasakan pendidikan politik warga, stasiun televisi yang menyalahgunakan frekuensi publik justru menjadi mesin penghancur kewarasan logika publik.
Karena itu KPI harus berani bertindak lebih keras. Teguran saja tak cukup. KPI bahkan bisa meminta Kementerian Komunikasi dan Informatika untuk tidak memperpanjang izin siaran televisi pelanggar frekuensi publik. Seperti diketahui setiap 10 tahun sekali Kementerian Kominfo dapat memperpanjang, atau sebaliknya, izin siaran stasiun televisi.
KPI tak boleh jadi macan ompong. Peraturan Komisi Pemilihan Umum tentang aturan kampanye yang hanya membolehkan 21 hari kampanye sebelum masa tenang dan pembatasan jumlah iklan kampanye politik bisa diterapkan.
Konsumen media pun bisa bertindak cerdas: jangan pilih para pemilik televisi yang menyalahgunakan frekuensi publik. Mari jadi publik yang berdaya, bukan diperdaya.
Media, Politikus dan Pemilu
Siapa menguasai media, dialah yang menjadi raja atau penguasa. Para pengusaha televisi yang terjun ke dunia politik memahami betul ungkapan klasik itu. Frekuensi penyiaran sebagai ranah publik diselewengkan untuk kepentingan politik jangka pendek.

EDITORIAL
Rabu, 15 Jan 2014 10:01 WIB


Media, Politikus, Pemilu
Kirim pesan ke kami
WhatsappRecent KBR Prime Podcast
Kabar Baru Jam 7
Strategi Perempuan Pengemudi Ojol Mengatasi Cuaca Ekstrem (Bag.4)
Arab Saudi Bangun Taman Hiburan Bertema Minyak di Tengah Laut
Menguji Gagasan Pangan Cawapres
Mahfud MD akan Mundur dari Menkopolhukam, Jokowi: Saya Sangat Hargai