Bagikan:

Banjir, Ikan dan Ejekan

Pertanyaannya, pemimpin-pemimpin yang hanya bisa menari dan mengejek itu apa punya rancangannya? Atau setidaknya kemauan membangun sistem ketahanan banjir. Atau mengapa malah sengaja diam agar pemerintah Jakarta gagal sehingga memelorotkan popularitas seo

EDITORIAL

Jumat, 31 Jan 2014 11:09 WIB

Author

KBR68H

Banjir, Ikan dan Ejekan

banjir Jakarta, Jokowi, Belanda banjir, Gong xi fa cai

Apa yang dilakukan oleh pemimpin-pemimpin kita di atas banjir dan derita warganya adalah mendayung sambil menari-nari. Banjir dipolitisasi untuk menghanyutkan popularitas tokoh yang konon mau dicalonkan menjadi presiden RI 2014-2019. Sampai-sampai muncul berbagai istilah ejekan: Jokowi capres banjir, atau Jokowi capres jalan rusak.

Bencana ternyata gagal menggugah para pemimpin politik itu untuk bahu membahu menggalang solidaritas yang kuat. Padahal, katanya, kita bangsa yang memiliki semangat gotong royong dan solidaritas sosial paling tinggi.

Sesungguhnya mereka tahu bagaimana membebaskan Jakarta dari banjir, bahkan bila volume hujan dua kali lebih banyak dari yang sudah-sudah. Jakarta perlu memiliki lebih banyak waduk, juga di kawasan sabuk Jakarta; perlu saluran air yang lebar; perlu mendalamkan dan membersihkan sungai-sungai; membebaskan kawasan sungai dari beban rumah-rumah; memperluas kawasan hijau yang kini hanya 10 persen menjadi 20 hingga 30 persen; dan lain-lain sistem pertahanan air.

Mereka juga tahu dibutuhkan strategi, rancangan, biaya, waktu, dan kerja semua pihak. Mari tengok tragedi banjir besar di Eropa, 1953. Banjir itu menghantam empat negara. Terparah adalah Belanda yang 9 persen kawasan negaranya tenggelam, lalu Inggris, Belgia, dan Skotlandia. Korbannya lebih dari 2.500 jiwa, dan 47.300 bangunan rusak parah, 10 ribu diantaranya ambruk total.

Seusai tanggap darurat, Belanda membutuhkan waktu 7 tahun berikutnya untuk memulai membangun sistem ketahanan banjir. Pembangunan itu baru kelar tahun 1998. Hampir 45 tahun setelah banjir itu sendiri. Inggris baru selesai tahun 1984. Memang tak bisa sebentar seperti legenda membangun candi.

Pertanyaannya, pemimpin-pemimpin yang hanya bisa menari dan mengejek itu apa punya rancangannya? Atau setidaknya kemauan membangun sistem ketahanan banjir. Atau mengapa malah sengaja diam agar pemerintah Jakarta gagal sehingga memelorotkan popularitas seorang Jokowi? Percayalah, harga itu terlalu mahal.

Dan percayalah, tak ada yang membeli kampanye buruk itu. Apalagi hujan sering dianggap petanda datangnya rezeki yang berlimpah. Bukan kebetulan bahwa hujan dan kondisi berlebih-lebihan, dalam bahasa warga Tionghoa yang hari ini merayakan tahun baru, sama-sama disebut ‘Yu’. Meski karakter huruf dan panjang pendek lafaznya berbeda, hujan dan kondisi berlebih-lebihan adalah ‘Yu’. Ada satu lagi makna ‘Yu’ yang berarti ikan. Jadi, ketimbang menyimak kampanye buruk antisolidaritas itu, mari kita makan ikan saja di tengah hujan yang berlebih-lebihan ini. Gong xi fa cai.

*Catatan: ‘Yu’ dibaca ‘Yi’ dengan posisi bibir seperti mengucapkan ‘yu’, Gong Xi dibaca Kung Si.

Kirim pesan ke kami

Whatsapp
Komentar

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!

Kabar Baru Jam 7

Strategi Perempuan Pengemudi Ojol Mengatasi Cuaca Ekstrem (Bag.4)

Arab Saudi Bangun Taman Hiburan Bertema Minyak di Tengah Laut

Menguji Gagasan Pangan Cawapres

Mahfud MD akan Mundur dari Menkopolhukam, Jokowi: Saya Sangat Hargai

Most Popular / Trending