Ketika seluruh umat Islam merayakan hari raya Idul Adha, Jumat dan Sabtu pekan lalu, Detasemen Khusus Anti Teror 88 kembali beraksi. Kali ini tak tanggung-tanggung, Densus 88 bergerak serentak di empat kota: Jakarta, Bogor, Solo dan Madiun. Sekurangnya 11 orang ditangkap dalam penggerebekan itu. Dari rumah-rumah mereka, polisi menyita sejumlah bom berdaya ledak tinggi siap pakai, sejumlah bahan baku bom, amunisi dan detonator, serta buku-buku yang berisi panduan merakit bom.
Menurut markas besar kepolisian, mereka yang ditangkap ini adalah anggota Harakah Sunni untuk Masyarakat Indonesia (Hasmi) yang dikategorikan sebagai kelompok baru jaringan terorisme di Indonesia. Penyelidikan sementara menunjukkan adanya rencana kelompok ini untuk meledakkan bom di tempat-tempat strategis seperti KonsulatJenderal Amerika Serikat di Surabaya, Kedutaan Besar AS di Jakarta, Plaza 89 yang berseberangan dengan Kedutaan Besar Australia, Kantor PT Freeport Indonesia serta Markas Komando Brimob di Semarang, Jawa Tengah.
Tentu ini baru klaim sepihak kepolisian. Kita belum mendengar tanggapan langsung dari kelompok yang disebut Hasmi ini. Kalau pun kelompok ini eksis, kita tentu ingin tahu sejak kapan kelompok ini berdiri? Apa cita-cita perjuangan mereka? Dan apakah ada hubungan antara anggota Hasmi dengan kelompok-kelompok yang dimasukkan dalam daftar organisasi teroris?
Berbagai pertanyaan itu perlu dijawab agar tidak ada spekulasi dari hasil kerja keras kepolisian menggulung terorisme. Seperti adanya tudingan pengalihan isu lantaran kepolisian saat ini sedang berseteru dengan KPK dalam isu korupsi proyek simulator. Kerja keras kepolisian memberantas terorisme yang sejauh ini dinilai cukup berhasil, tentu tak boleh dikotori kepentingan segelintir pejabatnya yang korup.
Sikap skeptis sebagian kalangan ini harus diimbangi dengan penyidikan yang profesional. Kepolisian harus bisa membuktikan jaringan terorisme ini benar-benar ada, bukan sekadar rekayasa sebagaimana kecurigaan mereka. Lebih dari itu, kepolisian juga harus bisa menunjukkan adanya rencana dan persekongkolan jahat untuk membunuh manusia lain melalui kegiatan teror.
Sudah terlalu banyak korban jiwa dari mereka yang tak bersalah akibat berbagai ledakan bom laknat di negeri ini. Kita tak boleh mengabaikan peringatan yang dilansir lembaga resmi seperti kepolisian dan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT). Meski pada saat yang sama, kita juga meminta lembaga-lembaga ini untuk tetap menganut asas praduga tak bersalah.
Tanpa harus menunggu revisi Undang-Undang Anti Terorisme, semua kegiatan yang mengarah pada kekerasan dan teror memang harus ditindak. Karena itu kepolisian tak boleh hanya keras kepada kelompok yang diduga merupakan jaringan teror, tapi pada saat yang sama membiarkan atau bahkan menyokong kelompok yang aktivitasnya sudah jelas-jelas meresahkan masyarakat.
Memberantas terorisme harus dimulai dengan sikap konsisten menindak kelompok-kelompok intoleran yang selama ini merasa bebas mengancam dan menyerang kelompok lain atas nama agama.
Mulailah dengan Menindak Kelompok Intoleran
KBR68H - Ketika seluruh umat Islam merayakan hari raya Idul Adha, Jumat dan Sabtu pekan lalu, Detasemen Khusus Anti Teror 88 kembali beraksi.

EDITORIAL
Rabu, 02 Jan 2013 15:05 WIB

teroris, kelompok intoleran
Kirim pesan ke kami
WhatsappRecent KBR Prime Podcast
Kabar Baru Jam 7
Strategi Perempuan Pengemudi Ojol Mengatasi Cuaca Ekstrem (Bag.4)
Arab Saudi Bangun Taman Hiburan Bertema Minyak di Tengah Laut
Menguji Gagasan Pangan Cawapres
Mahfud MD akan Mundur dari Menkopolhukam, Jokowi: Saya Sangat Hargai