KBR - Amerika Serikat menyatakan keprihatinannya atas intoleransi beragama yang berkembang di Malaysia, dimana kelompok-kelompok keagamaan mulai terlibat dalam urusan sipil, termasuk mendesak adanya undang-undang yang melarang orang untuk meninggalkan Islam.
Laporan yang dikeluarkan AS menyebut, pengadilan pidana dan perdata yang sekuler telah menyerahkan wewenangnya ke pengadilan syariah, khususnya dalam urusan hukum yang melibatkan warga muslim dan non muslim.
Laporan berjudul International Religious Freedom Report 2013, menyebutkan bahwa Jabatan Kemajuan Islam (Jakim) memiliki kekuatan penuh untuk menentukan ajaran Islam yang benar dan menyingkirkan mereka yang tidak setuju.
Beberapa kelompok Islam seperti Syiah, Ahmadiyah, dan Al Arqam dilarang berbicara bebas tentang keyakinan mereka. Islam Sunni juga wajib tunduk dan menjalankan praktik Islam yang telah ditentukan pemerintah. Pemerintah dapat menahan muslim yang menyimpang dan tidak mengikuti peraturan yang telah dibuat.
Menurut LSM Keagamaan, pengadilan syariah tidak memberikan bobot keadilan yang seimbang dengan kesaksian perempuan. Hal tersebut terlihat jelas dalam perceraian, hak asuh anak, dan penegakan pembayaran tunjangan. Selain itu, di Malaysia juga terdapat pembatasan penggunaan kata Allah, Baitullah, Ka’bah, dan Shalat bagi non-Muslim.
Pada Januari lalu, Presiden Muslim dari LSM Perkasa, Ibrahim Ali, menyerukan pembakaran Al-Kitab atau Injil. Apa yang dilakukan Ibrahim Ali adalah tindakan menebar kebencian, perpecahan, dan ketidaknyamanan.
Insiden lain yang terjadi di Malaysia adalah fanatisme agama. Salah satunya adalah pelajaran Islam wajib diberlakukan di sekolah umum. Siswa non-Muslim diminta untuk mengambil kursus etika.
Selain itu, pada Agustus lalu, Sultan Johor membongkar aula meditasi agama bagi umat Buddha dan dijadikan ruang doa bagi umat Muslim.
Mengetahui hal tersebut, Menteri Luar Negeri AS, John Kerry mengatakan, negara-negara yang memiliki kemitraan dengan AS harus melindungi kebebasan dasar, yaitu kebebasan beragama. (dinmerican)
Editor: Antonius Eko